Kamis, 26 Mei 2011

1
Pengembangan Bahan Ajar dengan Metode Laboratory Training dalam Matadiklat Praktik Batu dan Beton
Guna Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan
Psikomotorik Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Jurusan Teknik Bangunan
Wasis
Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No 5 Malang, Telp. 081803890411
Abstract: The objective of this research is to develop the instructional material for a short course on stone and concrete for the students of vocational high school (SMK), construction en¬gineering program, based on the laboratory training method. This training is part of a develop¬mental research. The test of the product for the first year was carried out in two stages, namely: (1) expert judgment, and (2) individual assessment. The expert judgment was carried out by involving experts on instructional content (civil or construction engineering) and experts on learning technology. The experts on content were the lecturers from higher educational insti¬tutions with minimum qualification of master/doctoral degree, specializing in construction/civil engineering, while the experts on learning technology were lecturers of higher educational institutions with minimum qualification of master/doctoral degree, specializing in learning technology. Based on the data analysis, it can be stated that this research has produced instruc¬tional material for a short course on stone and concrete, for class XI. The instructional material consists of teacher’s guidance, instruction plan and material for the students in the form of job sheet for the students.
Kata kunci: latihan laboratorium, praktik, batu dan betone
Pembangunan industri modern yang kini di¬lakukan, khususnya untuk mengatasi krisis ekonomi, sangat memerlukan tenaga kerja terampil dan profesional. Guna menghasilkan tenaga kerja terampil dan profesional, diperlu¬kan proses penyiapan tenaga kerja yang teren¬cana dan sistematis. Oleh karena itu, idealnya aktivitas pembelajaran di SMK tidak hanya di¬fokuskan pada kegiatan upaya pengembangan kemampuan kognitif belaka, melainkan pula harus menyeimbangkan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Untuk mencapai ke-seimbangan tujuan pembelajaran tersebut, harus disediakan sarana prasarana pembelajaran yang memungkinkan untuk mengembangkan ranah kognitif, afektif dan psikomotor secara simul¬tan. Namun kenyataannya, sarana dan prasara¬na pembelajaran yang terkait dengan pengem- bangan faktor psikomotor sering diabaikan. Hal ini dapat kita lihat dari masih kurangnya buku-buku teks tentang pembelajaran praktik yang dirancang secara khusus untuk pembelajaran di SMK.
Salah satu kekurangan adalah dalam pelak¬sanaan pembelajaran matadiklat praktik Batu dan Beton, dimana belum tersedia perangkat pem- belajaran secara memadai. Padahal pembel-ajaran praktik merupakan unsur utama untuk membekali keterampilan kerja siswa SMK. Apa-lagi jenjang pendidikan SMK, menuntut perlu adanya pembelajaran praktik yang lebih in¬tensif. Adapun matadiklat praktik yang diang¬gap masih belum memadai perangkat PBMnya adalah matadiklat praktik Batu dan Beton pada
1
JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
2
jurusan Teknik Bangunan. Dari hasil diskusi dengan guru SMK dan survei pendahuluan tim peneliti, menyimpulkan bahwa terdapat dua masalah pokok dalam pembelajaran prak¬tik yaitu: (l) tidak adanya modul pembelajaran praktik yang inovatif; dan (2) metode mengajar praktik dengan ceramah (konvensional) masih menjadi kebiasaan guru.
Adanya dua masalah pokok dalam mata-diklat praktik Batu dan Beton tersebut ternyata berdampak pada efektivitas pelaksanaan pem¬belajaran yang rendah. Hal ini nampak dari rendahnya nilai dari beberapa indikator seperti: (l) kecermatan penguasaan keterampilan kerja; (2) kecepatan unjuk kerja praktik; (3) kesesuai-an dengan prosedur; (4) kuantitas unjuk kerja praktik; (5) kualitas hasil akhir; dan (6) tingkat alih belajar. Dilihat dari faktor siswa nampak beberapa permasalahan antara lain (l) sebagian besar (± 80%) siswa memiliki motivasi belajar yang rendah; (2) keadaan siswa di kelas yang pasif dan apatis (tidak kreatif) merupakan pe¬mandangan umum sehari-hari, (2) tugas di-selesaikan tidak tepat waktu (produktivitas rendah) dengan kualitas asal-asalan, serta se-ring mencontek begitu saja tugas siswa lain; (3) kemampuan mencari sumber-sumber pustaka penunjang sangat lemah dan hanya mengan¬dalkan materi dari dari guru; dan (4) sebagian besar siswa (±90%) tidak memiliki strategi bel-ajar yang sistematis dan tidak ada usaha yang serius untuk belajar serta kemampuan ranah psikomotor yang rendah.
Berpijak pada latar belakang masalah di atas, maka perlu dikembangkan bahan ajar pem¬belajaran praktik yang mampu meningkatkan hasil belajar dan kreativitas dan produktivitas siswa. Strategi pembelajaran yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan mengembangkan bahan ajar praktik berdasar¬kan strategi Laboratory Training. Penggunaan strategi/ metode Laboratory Training untuk me¬mecahkan masalah tersebut, karena metode ini secara teoritik dan empirik telah terbukti mam-pu meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan metode praktik konvensional lainnya. Demikian pula digunakannya metode praktik ini akan mendorong siswa untuk memiliki pe¬mahaman yang lebih komphensif terhadap ma¬teri pembelajaran praktik yang dipelajari (Joice and Weil, 1986). Metode Pelatihan Laborato¬rium awal mulanya dikembangkan oleh Joice and Weil (1986: 275), dan kini metode ini telah banyak diterapkan pada pembelajaran-pembel-ajaran praktik pada bidang keteknikan. Pada dasarnya ada dua dimensi pokok dari metode ini yaitu prinsip yang melandasi metode ini ser¬ta prosedur pelaksanaannya. Menurut Joice and Weil (1986) metode laboratory training memiliki dua prinsip utama yaitu: (1) kerja kelompok; dan (2) menekankan pengembangan empat area kepribadian yaitu (l) intrapersonal; (2) interper¬sonal; (3) dinamisasi kelompok; dan (4) selfdirec¬tion. Menurut Joice and Weil (1986) metode labo¬ratory training memiliki empat prosedur yaitu: (l) grouping; (2) theory session , (3) focused exercis¬es, dan (4) experimentation with real life problem.
Pada tahun pertama penelitian ini telah di¬hasilkan bahan ajar praktik mata diklat Batu dan Beton untuk kelas XI. Selanjutnya untuk tahun ke dua, bahan ajar yang telah ada akan dilaku¬kan uji coba lapangan, untuk mengetahui efek¬tivitas empirik bahan ajar yang telah dikembang¬kan. Hasil uji lapangan ini akan dijadikan acuan untuk memperbaiki bahan ajar lebih lanjut, se-hingga layak untuk diimplementasikan di SMK-SMK. Berpijak pada latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah menghasilkan bahan ajar matadiklat Praktik Batu dan Beton untuk Siswa SMK Jurusan Teknik Bangunan berbasis strategi Laboratory Training.
METODE
Penelitian ini termasuk penelitian pengem¬bangan. Adapun komponen-komponen buku ajar yang dikembangkan adalah (1) bahan ajar pegangn siswa: yaitu bahan ajar siswa yang dikembangkan dengan model pembelajaran 3
Laboratory Training, pada matadiklat praktik Batu dan Beton pada program keahlian Teknik Bangunan yang sudah divalidasi oleh guru-gu¬ru SMK dan akhli bidang studi serta ahli pem¬belajaran dan siap diuji cobakan; (2) bahan ajar pegangan guru yang sudah divalidasi oleh gu¬ru-guru SMK dan akhli bidang studi dan akhli pembelajaran dan siap diuji cobakan; dan (3) Rencana Pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Mengingat SMK di Malang Raya ini yang masih memiliki program studi Teknik Bangun-an hanya SMK Negeri 1 Singosari dan SMK Negeri 6 Kota Malang, maka kedua SMK terse¬but dijadikan lokasi dan subyek penelitian. Dari kedua SMK tersebut kemudian akan dipilih masing-masing 3 guru dan 5 siswa program keahlian Batu dan Beton, dengan teknik random sampling. Dengan demikian terdapat 6 orang guru SMK dan 10 orang siswa SMK yang men¬jadi validator bahan ajar praktik Batu dan Be¬ton. Disamping itu sebagai validator bahan ajar ini juga terdiri dari 1 orang ahli bidang studi, 1 orang ahli pembelajaran, dan 2 orang dosen dari Jurusan Teknik Bangunan.
Uji coba produk pada tahun I ini hanya di¬lakukan melalui dua tahap yaitu (1) uji pakar/expert judgement, dan (2) uji perorangan. Uji pa¬kar dilakukan dengan melibatkan pakar isi bi¬dang studi (Teknik Bangunan/Teknik Sipil) dan pakar teknologi pembelajaran. Pakar isi bidang studi adalah dosen perguruan tinggi dengan kualifikasi minimal S2/S3 spesialisasi Teknik Bangunan/Teknik Sipil, sedangkan pakar tek-nologi pembelajaran adalah dosen perguruan tinggi dengan kualifikasi minimal S2/S3 spesial-isasi teknologi pembelajaran.
HASIL
Seperti telah dibahas dalam bab metode pe¬nelitian prosedur pengembangan ini dilakukan melalui 6 (enam) tahap, yaitu (l) telaah berbagai refrensi yang terkait dari berbagai sumber, (2) menyusun/menulis rancangan produk bahan ajar, (3) validasi oleh ahli pembelajaran, akhli bidang studi, guru dan siswa SMK, (4) analisis dari hasil validasi, (5) revisi draf bahan ajar, dan (6) penulisan produk akhir bahan ajar.
Secara operasional langkah-langkah dari kegiatan tersebut dapat dijelaskan sebagai beri¬kut: 1) telaah refrensi, hal ini dilakukan dengan melakukan kajian dan penelaahan terhadap (a) kajian berbagai referensi dan hasil penelitian metode LT; (b) telaah kurikulum SMK dan mat¬adiklat praktik; (c) kajian pembelajaran metode LT; dan (d) eksplorasi pengalaman mengajar guru dan dosen tentang metode LT, 2) me-nyusun rancangan bahan ajar. Hal ini dilaku¬kan dengan berpijak pada hasil telaah referensi yang dilakukan pada tahap sebelumnya. Bahan ajar praktik yang disusun dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (a) bahan ajar pegangan guru; (b) rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP); dan (c) lembar kerja siswa (jobsheet), 3) Validasi Bahan Ajar. Setelah rancangan bahan ajar selesai dibuat, kemudian dilakukan validasi, dimana validatornya terdiri dari ahli pembelajaran, ahli bidang studi, guru dan siswa SMK. Untuk ba¬han ajar pegangan guru, komponen-komponen yang divalidasi adalah (a) keterbacaan dan ke-menarikan cover, (b) kejelasan paparan petun¬juk guru tentang penerapan metode pembelajar-an praktik Laboratory Training, (c) kelengkapan komponen urutan tiap bab (pendahuluan, pe¬nyajian, penutup, daftar pustaka, senerai), (d) perumusan tujuan pembelajaran, (e) keruntut-an pengorganisasian materi tiap bab, (f) keje-la¬san dan kesesuain gambar, (g) rangkuman ma¬teri tiap bab, dan (h) kesuaian test hasil belajar dengan tujuan dan materi pembelajaran. Untuk rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) komponen-komponen yang divalidasi adalah (a) kejelasan rumusan standar kompetensi, (b) kejelasan rumusan kompetensi dasar, (c) keje-lasan tujuan pembelajaran, (d) ketepatan meto-de pembelajaran, (e) kedalaman materi pembel-ajaran, (f) kesesuaian waktu dengan materi, (g) ketepatan sumber belajar, (h) ketepatan test ha¬sil belajar, (i) kejelasan dan kesesuain ilustrasi
Wasis, Pengembangan Bahan Ajar dengan Metode Laboratory Training4 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
Tabel 1 Hasil Validasi terhadap Bahan Ajar Pegangan Guru
No.Komponen Yang Dinilaiskor penilaian12341.Keterbacaan dan Kemenarikan Cover80%20%2.Kejelasan paparan “Petunjuk guru tentang penerapan metode pembelajaran praktik Laboratory Training,70%30%3.Lelengkapan komponen urutan tiap bab (Pendahuluan, penyajian, penutup/ringkasan, daftar pustaka, senerai),80%20%4.Perumusan tujuan pembelajaran90%10%5.Keruntutan pengorganisasian materi tiap bab70%30%6.Kejelasan dan kesesuaian gambar90%10%7.Rangkuman materi tiap bab90%10%8.Kesuaian test hasil belajar dengan tujuan dan materi pembelajaran-100%
Tabel 2 Hasil Validasi terhadap Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
No. Komponen Yang Dinilaiskor penilaian12341.Kejelasan standar kompotensi90%-2.Kejelasan Kompetensi dasar90%-3.Kejelasan Tujuan Pembelajaran-100%4.Kesesuaian dan kedalaman materi-100%5.Kesesuaian waktu dengan materi80%20%6.Ketepatan Metode Pembelajaran90%10%7.Ketepatan Sumber Belajar-100%8.Kejelasan dan Kesesuian Ilustrasi gambar70%30%9. Kesesuaian test hasil belajar dengan tujuan dan meteri pembelajaran100%
Tabel 3 Hasil Validasi terhadap Lembar Kerja Siswa/Worksheet
No. Komponen Yang Dinilaiskor penilaian12341.Kejelasan tujuan pembelajaran90%10%2.Kejelasan Instruksi Umum80%20%3.Kesesuaian perlengkaan alat dan bahan-100%4.Kesesuaian tindak pencegahan-100%5.Ketepatan langkah-langkah kerja-100%6.Kejelasan Gambar Kerja70%30%7.Kesesuaiain Pertanyaan awal dan pertanyaan akhir90%10%8.Ketepan petunjuk kepustakaan-100%9. Kesesuaian dan ketepatan format evaluasi-100%5
Wasis, Pengembangan Bahan Ajar dengan Metode Laboratory Training
Tabel 4 Hasil Validasi terhadap Lembar Kerja Siswa/Worksheet oleh Siswa
No. Komponen Yang Dinilaiskor penilaian12341.Kejelasan tujuan pembelajaran-100%2.Kejelasan Instruksi Umum-100%3.Kesesuaian perlengkaan alat dan bahan-100%4.Kesesuaian tindak pencegahan-100%5.Ketepatan langkah-langkah kerja80%20%6.Kejelasan Gambar Kerja70%30%7.Kesesuaiain Pertanyaan awal dan pertanyaan akhir-100%8.Kejelasan komponen-komponen/butir/butir evaluasi-100%
Tabel 5 Data Uji coba dan Revisi Bahan Ajar Pegangan Guru
No.KomponenHasil Penelitian Uji CobaRevisi1CoverKemenarikan dan KeterbacaanMasih kurang sedikit mem-beri gambaran sebagai buku praktik pegangan guruDiberi tambahan kata Buku Pegangan Guru Pembelajaran Praktik2Kejelasan paparan “Petunjuk guru tentang penerapan metode pembel-ajaran praktik Laboratory Training,Kurang kengkap/jelas terkait tentang tahap: per-siapan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaranDitambahkan penjelasan pada tahap persiapan, pelaksanaan dan evalu-asi pembelajaran.3Perlengkapan komponen urutan tiap bab (pendahuluan, penyajian, penutup/ ringkasan, daftar pustaka, senerai)Penomoran sub-sub bab kurang teratur, tidak ada seneraiPenomoran sub-sub bab diperbaiki dan diberi senarai4Perumusan tujuan pembelajaranCukup jelasTidak ada revisi5Keruntutan pengorganisasian materi tiap babAda beberapa beberapa ma-teri yang masih perlu ditata secara lebih sempurnaBeberapa materi dalam bab ditata kembali6Kejelasan dan kesesuaian gambarAda beberapa bagian yang perlu diberi ilustrasi gambarDitambah gambar7Rangkuman materi tiap babCukup jelasTidak ada revisi8Kejelasan dan Kesesuiain Ilustrasi gambarBeberapa sub bab gam-barnya kurang, agar diberi gambarDitambahkan beberapa gambar9Kesesuaian test hasil belajar dengan tujuan dan meteri pembelajaranCukup jelasTidak ada revisi6 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
gambar. Sedangkan lembar kerja siswa/ jobsheet, komponen yang divalidasi adalah (a) kejelas-an tujuan pembelajaran, (b) kejelasan instruksi umum, (c) kesesuaian perlengkapan alat dan bahan, (d) kesesuaian tindak pencegahan, (e) ketepatan langkah-langkah kerja, (f) kejelasan gambar kerja, (g) kesesuaian pertanyaan awal dan pertanyaan akhir, (h) ketepan petunjuk kepustakaan, dan (i) ketepatan dan kesesuaian lembar evaluasi. 4) Analisis Hasil Validasi, dari hasil validasi yang telah dilakukan tersebut, tim peneliti melakukan analisis terhadap kekurang-an-kekurangan/kelemahan-kelemahan bahan ajar yang telah dibuat. 5) Revisis Draft Bahan Ajar. Dari kesimpulan yang dibuat berdasar¬kan hasil analisis validasi, rancangan bahan ajar direvisi. 6) Penulisan produk bahan ajar, yang telah siap uji coba lapangan.
Berdasarkan hasil validasi (penilaian) yang dilakukan oleh ahli pembelajaran, ahli bidang studi dan guru, paparan data dapat disajikan seperti tabel 1.
Tabel 6 Data Uji coba dan Revisi Rencangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
No.KomponenHasil Penelitian Uji CobaRevisi1Kejelasan standar kompotensiJelasTidak ada revisi2Kejelasan Kompetensi dasarJelasTidak ada revisi3Kejelasan Tujuan PembelajaranJelasTidak ada revisi4Kesesuaian dan kedalaman materiJelasTidak ada revisi5Kesesuaian waktu dengan materiPerlu penambahan alokasi waktu Alokasi waktu ditambahkan6Ketepatan Metode PembelajaranJelas Tidak ada revisi7Ketepatan Sumber BelajarSudah tepatTidak ada revisi8Kejelasan dan Kesesuaian Ilustrasi gambarPerlu ditambahkan beberapa gambar kerja Ditambahkan gambar9Kesesuaian test hasil belajar den-gan tujuan dan materi pembelaja-ranSudah sesuai Tidak ada revisi
Tabel 7. Data Uji Coba dan Revisi Lembar Kerja Siswa/WorkSheet
No.KomponenHasil Penelitian Uji CobaRevisi1Kejelasan tujuan pembelajaranJelasTidak ada revisi2Kejelaan Instruksi UmumJelasTidak ada revisi3Kesesuaian perlengkaan alat dan bahanJelasTidak ada revisi4Kesesuaian tindak pencegahanJelasTidak ada revisi5Ketepatan langkah-langkah kerjaJelasTidak ada revisi6Kejelasan Gambar KerjaGambar kerja kurang lengkapGambar kerja dilengkapi7Kesesuaiain pertanyaan awal dan pertanyaan akhirSesuaiTidak ada revisi8Ketepan petunjuk kepustakaanTepat Ditambahkan gambar9Kesesuaian dan ketepatan format evaluasiSesuaiTidak ada revisi7
Berdasarkan hasil validasi (penilaian) yang dilakukan oleh ahli pembelajaran, ahli bidang studi dan guru, paparan data dapat disajikan seperti tabel 1. Berdasarkan hasil validasi yang dilakukan oleh siswa SMK terkait dengan ke-terpahamannya terhadap lembar kerja siswa/jobsheet dapat disajikan seperti Tabel 4.
Hasil Uji Coba dan Revisi Bahan Ajar
Mengacu pada hasil uji coba yang telah dila-kukan dan saran-saran dari validator, revisi bahan ajar dapat diuraikan pada Tabel 5.
PEMBAHASAN
Bahan ajar praktik memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahan ajar pembelajar-an teori. Pembelajaran praktik khususnya pembelajaran praktik kejuruan merupakan pembelajaran yang melibatkan pengintegra¬sian ranah keterampilan kognitif, afektif dan psikomor secara sistematis. Berbeda dengan pengajaran di kelas seperti mekanika teknik misalnya, yang lebih didominasi dengan peng-gunaan ranah kognitif. Dalam keterampilan psikomotorpun terdapat perbedaan proporsi pengetahuan (ranah kognitif) dan keterampil-an (ranah motorik) untuk masing-masing kelas pekerjaan. Oleh karena itu dalam pem¬belajarannya pun ada perbedaan penekanan.
Seymour (dalam Wena, 1996) mengidenti¬fikasi 6 jenis pekerjaan (six main classes of work) yang termasuk dalam keterampilan motorik yaitu (l) pekerjaan tangan, (2) pekerjaan tang-an dengan menggunakan alat, (3) pekerjaan mesin bertujuan satu, (4) pekerjaan dengan mesin bermanfaat ganda, (5) pekerjaan de-ngan mesin ganda, dan (6) pekerjaan tidak ber¬ulang. Dalam penelitian ini, jenis keterampil-an motorik yang dipelajari termasuk dalam pekerjaan tangan dengan menggunakan alat dan pekerjaan mesin bertujuan satu. Dalam model pekerjaan tersebut ranah motorik le-bih dominan dari ranah kognitif. Oleh karena itu dalam pengembangan bahan ajar ini lebih tepat digunakan strategi laboratory training.
Enam langkah pembelajaran laboratory training ternyata terbukti cocok dalam usaha meningkatkan keterampilan kerja siswa da¬lam matadiklat praktik. Salah satu hal yang perlu ditekankan dalam pembelajaran labora¬tory training ini adalah perlunya dilakukan langkah peragaan secara berulang (dalam penelitian ini dilakukan sampai (empat kali) sehingga siswa paham benar terhadap prose¬dur kerja yang harus dilakukan. Seperti di¬ungkapkan Wena (1996) bahwa pengajar har¬us mendemonstrasikan keterampilan kerja pada siswa sebagai suatu daur operasi yang sempurna. Borich, (1988) mengatakan da¬lam penguasaan keterampilan motorik perlu menjelaskan “how it is to be done and what are the appropriate procedure”. Dengan demikian tahap peragaan dalam pembelajaran praktik keterampilan motorik sangat penting sekali.
Jika dalam tahap peragaan lebih ba- nyak aspek kognitif siswa yang aktif dalam memahami gerak langkah-langkah motorik yang diperagakan pengajar, maka agar ke-terampilan kerja yang telah diperagakan da¬pat dikuasai dengan tuntas oleh siswa, maka latihan harus dilakukan siswa. Dalam proses pelaksanaan penelitian ini nampak bahwa peroses latihan yang dilakukan siswa sangat berpengaruh pada penguasaan keterampilan kerja. Semakin aktif melakukan latihan kerja akan semakin cepat menguasai keterampilan dan akan semakin baik kualitas hasil ker¬janya. Dalam hal ini Bonsch (l978) mengata¬kan “complete skill until it overlearned. increase lenght of training period”(latihan keterampilan lebih dari yang ditentukan, sehingga terjadi over learning. Waktu latihan diperpanjang)
Untuk lebih meningkatkan keterampilan siswa, maka dalam rancangan bahan ajar de-ngan strategi laboratory training, dilakukan latihan pengalihan (training transfer) pada
Wasis, Pengembangan Bahan Ajar dengan Metode Laboratory Training8 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010

kondisi yang realistik dengan pemberian tu-gas pembuatan benda kerja yang sesungguh¬nya dan melalui kunjungan industri. Pem¬berian tugas untuk pembuatan suatu benda kerja yang sesungguhnya ternyata dapat meningkatkan keterampilan kerja mahasiswa. Dalam pembuatan suatu benda kerja siswa akan dapat mempraktikan keterampilan ker¬ja yang telah dipelajari dalam kondisi nyata, dengan demikian diharapkan keterampilan kerja yang baru dipelajari tersebut akan da¬pat menjadi kebiasaan. Menurut Starr, dkk (1982) sekali suatu keterampilan kerja sudah dikuasai dan telah menjadi kebiasaan, maka sulit dilupakan walaupun waktu retensi cu¬kup panjang.
Di samping itu, untuk lebih meningkat¬kan pemahaman siswa terhadap keterampil-an kerja yang telah dipelajari, maka siswa perlu memahami realitas nyata dari proses keterampilan itu; hal ini dilakukan melalui kunjungan industri. Dalam kunjungan indus¬tri ini siswa tidak melakukan praktik kerja langsung, melainkan melakukan pengamatan dan wawancara terhadap pekerja dan penge-lola industri. Dengan proses yang demikian ternyata siswa lebih memahami proses kerja yang telah diajarkan di bengkel kerja. Un-gkapkan Wiemann (l988) bahwa “the didac¬tic center of the path of vocational training is the mastery of life at work; “linking the school with life” harus diterapkan betul-betul da¬lam praktik pendidikan kejuruan. Dengan ungkapan senada Bonsch (l978) mengatakan: adolescents must be given the opportunity to gain experience and knowledge “in situ”; vocational education must fulfil the need of putting them in touch with reality”. Dengan demikian dalam setiap ke-giatan pembelajaran keterampilan kejuruan, membawa siswa ke dunia kerja/industri untuk tujuan belajar adalah sangat penting untuk dilakukan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengembangan dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: (l) penelitian ini menghasilkan produk berupa bahan ajar matadiklat Praktik Batu dan Be¬ton, untuk kelas XI. Bahan ajar ini terdiri dari bahan ajar untuk pegangan guru, rencana pelaksanaan pembelajaran, dan bahan ajar pegangan siswa berupa lembar kerja siswa/job sheet, (2) buku pegangan guru ini mem¬beri penjelasan dan wawasan tentang kon¬sep-konsep maupun teori-teori tentang kerja batu dan beton. Bagian-bagian yang memuat konsep teoritik perlu dipahami guru, sebagai pijakan dalam melaksanakan pembelajaran praktik, (3) rencana pelaksanaan pembelajar-an (RPP), adalah rencana yang menggambar¬kan prosedur dan pengorganisasian pem¬belajaran praktik matadiklat Praktik Batu dan Beton untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus. Lingkup Rencana Pembelajaran paling luas mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang terdiri atas 1 (satu) indikator atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali pertemuan atau lebih, (4) Lembar kerja siswa/Job Sheet, memuat tentang apa yang harus dilakukan siswa dalam kegiatan pembelajaran praktik batu dan beton. Secara umum lembar kerja siswa/job sheet terdiri dari (a) tujuan pembelajaran, (b) instruksi umum; (c) perlengkapan alat dan bahan; (d) tindakan pencegahan; (e) langkah kerja, (f) pertanyaan awal dan akhir; (g) petunjuk kepustakaan; (h) gambar kerja dan (i) format evaluasi, dan (5) Bahan ajar ini telah dilakukan validasi terh¬adap ahli bidang studi, ahli pembelajaran, guru dan siswa SMK.9

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka di¬ajukan saran sebagai berikut: (1) bagi kepala sekolah hendaknya mendukung dan mengu¬sahakan kegiatan formal untuk mensosialisa-sikan penerapan bahan ajar Praktik Batu dan Beton ini di SMK jurusan Teknik Bangunan, (2) bagi guru: banyak temuan yang mengi¬dentifikasikan strategi pembelajaran Labora¬tory Training, lebih baik dibandingkan de-ngan model pembelajaran konvensional oleh karena itu layak dimplementasikan di kelas, dan (3) bagi peneliti: penelitian ini perlu diperluas cakupannya karena, penelitian ini hanya terbatas pada bahan ajar kelas XI dan hanya kompetensi tertentu saja. Di samping itu bahan ajar yang dikembangkan ini dinya- takan valid secara isi atau meteri dan disaji¬kan telah sesuai dengan metode Laboratory Training, oleh karena itu perlu segera dilaku¬kan uji lapangan untuk efektivitas penerapan metode tersebut. Hasil uji lapangan dapat di¬gunakan sebagai acuan revisi bahan ajar yang telah dibuat.
Wasis, Pengembangan Bahan Ajar dengan Metode Laboratory Training
DAFTAR RUJUKAN
Bonsch, M. l998. Bussines and industrial work expe¬rience for school pupil. Education. 14, 74- 79.
Borich, G.D. 1988. Effective Teaching Method. Columbus: Merill Publishing Company.
Brooks, J.G & Brooks, M.G. 2003. In Search of Understanding: The Case for Constructivist Classroom. Alexandria: ASCD.
Clegg, B & Berch, P. 2001. Instance Crativity. Jakarta: Penerbit Erlangga
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Pen¬ingkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Direktorat Pembinaan Pendidi¬kan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi
Gagne, R. M. 1985. The Condition of Learning and Theeory of Instruction. New York: Rinehart and Winston.
Gardner, H. 1999. Multiple Intelligences: The Theories in Practices. New York: Basic Book.
Joice, B. and Weil, Marsha. 1986. Models of Teaching. New Jersey: Prentice Hall, Inc
Marzano, R.J., Pickering, D. & McTighe. 1993. Assesing Student Outcomes: Performance Assesment Using The Dimentions of Learn¬ing Models. Alexandria, Virginia, ASCD
Molyneux, L. 1992. Cooperative Learning, Sci¬ence and Success: Step-By-Step Activities. New York: Trellis Book
Starr, H., Merz, H., and Zahnizer, G. l982. Us¬ing labor market information in vocational planning. Columbus: The National Cen¬ter in Vocational Education, The Ohio State University.
Wankat, P.C. & Oreovicz, F.S. 2005. Teaching Engineering. New York: McGraw-Hill, Inc
Weimann, G. l988. The theory of work in the secondary school. Education. 14, 131 144.
Wena, M. 1996. Pendidikan Sistem Ganda. Bandung: Tarsito10 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
Model Bahan Ajar Life Skills Berbasis Perhutanan Sosial
(Social Forestry) Bagi Petani Hutan (Pesanggem)
Dalam Pelestarian Hutan di Desa Sumberagung
Kabupaten Malang
Siti Asmah
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No 5 Malang,
Abstract: This research is based on the problem of the lack of life skills among the ‘pesanggem’ farmer community in exploring the existing potentials and resources in order to improve their economic condition and quality of life which is integrated with the fulfillment of the needs to preserve the forest in the village of Sumberagung, Ngantang district, Malang regency. The objectives of this research are to obtain an overview of the profile of the ‘pesanggem’ and their organization, that is Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (Village Friendship Institution for Forest Management) or LKDPH Wono Mulyo and to formulate the model of instructional material for life skills learning based on social forestry and its instructional components, such as: manual and learning media. The research method applied here is research and development (R&D) method using quantitative correlational approach and qualitative approach to obtain deep understanding. The data were obtained using an in-depth interview technique, observa¬tion, documentary studies and questionnaire. They were analyzed using tendency analysis and ANOVA test to obtain correlation. The result shows that LKDPH is a pesanggem organization which has the potential to empower the farmers to improve their economic and social condition. The profile of the ‘pesanggem’ shows that their activities in forest preservation is positive and related to their level of education, age, income, dimension of the ‘wengkon’ land under their care and their status of membership in LKDPH. The life skills required by the ‘pesanggem’ are personal skills, social skills, vocational skills and academic skills. The four skills are integrated in the resulted learning material.
Kata kunci: meteri pembelajaran, life skill, pesanggem, hutan sosial
Desa Sumberagung Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang adalah desa di kawasan pinggiran hutan. Desa tersebut sudah memiliki wadah organisasi untuk para petani pesanggem dalam meningkatkan kesejahteraan pesang¬gem sekaligus menjaga kelestarian hutan yaitu Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH) Wono Mulyo. Permasalahannya ialah bahwa dengan hanya menggarap lahan hutan belum menjamin kesejahteraan petani. Apabila petani penggarap lahan hutan tidak sejahtera, persoalan kelestarian lingkungan utamanya pe¬manfataan lahan hutan yang tidak sesuai deng-an aturan akan menimbulkan kerawanan ter-hadap terjadinya perusakan hutan. Kerusakan hutan akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang tentu akan merugikan banyak baik kerugian bersifat finansial maupun fisik dan sosial ekonomi.
Akhir-akhir ini berbagai pihak, termasuk pe¬merintah dan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sadar tentang hal tersebut, misalnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengembangkan berbagai pendekatan untuk melibatkan masyarakat petani dalam pengelo¬laan yang dikenal dengan hutan sosial (social
1011
forestry). Pemerintah menganggap penting pe-libatan masyarakat sekitar hutan dengan model kemitraan dalam pengelolaan hutan dengan sebutan petani pesanggem dan petani magersar¬en. Kegiatan pelibatan petani pesanggem dan ma-gersaren tersebut merupakan kegiatan yang sa-ling menguntungkan (mutual symbiosis). Petani dapat memperoleh penghasilan dari pola tanam tumpangsari dan Perum Perhutani memperoleh keuntungan tanaman mudanya dapat terpeli¬hara dengan baik. Apabila program tersebut dilakukan dengan baik akan diperoleh multi keuntungan, yaitu nilai ekonomi bagi petani dan pemerintah juga keuntungan dengan hasil hutan serta terjaganya pelestarian hutan sehing-ga kerugian akibat banjir dan longsor tidak ter¬jadi.
Permasalahan yang muncul untuk men¬capai kondisi ideal tersebut sebenarnya cukup kompleks, antara lain sulitnya mengakses hu¬tan oleh masyarakat sekitar hutan secara legal (Mundzir, 2004), perbedaan persepsi Perum Perhutani sebagai pemangku hutan di Jawa dan pesanggem yang memiliki kearifan lokal dalam pelestarian hutan sebagai warisan budaya dari nenek moyang mereka (Awang, 2006), rendah¬nya tingkat pendidikan pesanggem sehingga sulit mengembangkan keterampilan mengolah hasil hutan (Mundzir, 2004). Di samping itu juga terdapat permasalahan lain terkait dengan peranan pesanggem dalam proses pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tingkat pendidikan pesanggem yang relatif rendah dapat mengaki¬batkan rendahnya tingkat produktivitas hasil pertanian lahan hutan (Mundzir, 2008).
Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang merupakan salah satu desa di kawasan ping¬giran hutan wilayah Kabupaten Malang bagian barat. Desa tersebut memiliki Lembaga Kemi¬traan Desa Pengelola Hutan (LKDPH) yang di¬namakan LKPDH Wono Mulyo dengan anggota sekitar 450 orang dan peduli terhadap kelestari-an hutan. Dalam rangka mengantisipasi pence¬gahan tentang kerusakan hutan, maka faktor manusia sebagai salah satu pelaku utama yaitu pesanggem harus mendapat perhatian, utamanya bagaimana meningkatkan kualitas hidup mere-ka agar lebih sejahtera dan hutan tetap lestari. Karena itu program belajar life skills diberikan pada pesanggem agar mereka memiliki pengeta¬huan, sikap dan keterampilan dalam mengelo¬la sumberdaya hutan sehingga lebih bernilai ekonomi dan upaya pelestarian hutan juga lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang profil kelembagaan Lemba¬ga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH) Wono Mulyo sebagai wadah organisasi pesang¬gem, profil pesanggem, meliputi: latar belakang pendidikan, tingkat sosial ekonomi, luas lahan wengkon, dan profil kebutuhan belajar pesang¬gem, meliputi analisis kebutuhan belajar, potensi sumber belajar, dan analisis jenis keterampilan pesanggem terkait dengan program perhutanan sosial.
Berdasarkan hasil temuan penelitian akan disusun bahan ajar (sebagai model) untuk pem¬belajaran program life skills berbasis perhutanan sosial yang dilengkapi perangkat pembelajaran yaitu pedoman pelaksanaan dan media pembel-ajaran. Model ini akan diuji coba untuk menge¬tahui tingkat efektivitasnya. Model ini akan dikembangkan pada penelitian tahun kedua.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian tahun per¬tama dari penelitian multi years. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif de-ngan pendekatan kuantitatif korelasional dan pendekatan kualitatif sebagai pendalaman data kuantitatif yang diperoleh. Pendekatan kuanti¬tatif digunakan rangka menyusun profil pesang¬gem meliputi latar belakang pendidikan pesang¬gem, usia, tingkat pendapatan pesanggem, luas lahan wengkon, kelembagaan Lembaga Kemi¬traan Desa Pengelola Hutan (LKDPH) sebagai wadah oraganisasi pesanggem jenis kebutuhan belajar terkait dengan program perhutanan so¬
Siti Asmah, Model Bahan Ajar Life Skills Berbasis Perhutanan Sosial 12 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
sial, dan status keanggotaan dalam kelompok. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk menjaring informasi persepsi pesanggem terhadap pendidikan dan pelestarian sumber¬daya hutan.
Populasi penelitian tahap pertama adalah masyarakat pesanggem yang bertempat ting¬gal di Desa Sumberagung, Kecamatan Ngan¬tang, kabupaten Malang yang tergabung dalam LKDPH Wono Mulyo. Jumlah pesanggem ang¬gota LKDPH tersebut sebanyak 403 orang terse¬bar pada 12 kelompok kerja di wilayah masing-masing Rukun Tetangga (RT). Dari populasi yang ada, tidak seluruhnya menjadi responden penelitian ini. Tehnik sampling yang digunakan ialah proporsional random sampling. Tehnik ini di¬gunakan karena kondisi populasi relatif homo¬gen baik pendidikan maupun statusnya dalam LKDPH. Karena itu sampel penelitian diambil sekitar 30,6%. Sekitar 150 orang pesanggem yang diambi dengan sistem acak secara proporsio-nal.
Teknik pengumpulan data menggunakan dokumenter, angket, wawancara mendalam (indepht interview) dan observasi. Teknik doku¬menter digunakan untuk menjaring data ten¬tang profil desa Sumberagung dan profil kelem¬bagaan pesanggem yaitu LKDPH. Teknik angket digunakan untuk menjaring informasi tentang profil data diri pesanggem meliputi tingkat pen¬didikan, usia, pendapatan, luas lahan wengkon, status dalam kelembagaan LKDPH, dan lama keanggotaannya. Sedangkan teknik wawanca-ra mendalam dan observasi digunakan untuk mendapat informasi tentang kebutuhan belajar, sumber belajar dan potensi lokal desa Sumbera¬gung yang bisa dijadikan analisis kebutuhan belajar untuk pengembangan bahan ajar dalam pembelajaran life skill.
Teknik analisis data menggunakan anali¬sis data kuantitatif. Data yang terjaring dengan teknik angket dianalisis dengan tes analisis ke¬cenderungan prosentase yang kemudian di¬lanjutkan dengan analisis hubungan menggu¬nakan tes anova. Sedangkan data yang terjaring melalui wawancara dan observasi mengguna¬kan analisis kualitatif diskriptif dengan model Creswell. Hasil analisis kuantitatif diperdalam dengan analisis kualitatif ini untuk menemukan kebutuhan belajar pesanggem, sumber-sumber dan potensi lokal desa Sumberagung sehingga dapat digunakan untuk menyusun bahan ajar (sebagai model) program pembelajaran life skills berbasis perhutanan sosial. Bahan ajar yang sudah disusun sebagai produk penelitian ta¬hap pertama akan diuji coba, kemudian diuji efektifitasnya dan direvisi sehingga menjadi model bahan ajar life skills bagi masyarakat pe¬sanggem berbasis kehutanan sosial di desa Sum¬beragung yang akan dilaksanakan tahap ke dua yaitu tahun 2010. Pada tahun ke dua juga akan disusun seperangkat media pembelajar- an dan pedoman pelaksanaan pembelajaran life skill sebagai perangkat yang bisa melengkapi uji coba model bahan ajar life skill.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menemukan beberapa hal yaitu: 1) profil kelembagaan LKDPH, 2) profil aktivitas pesanggem menurut latar social ekono¬mi dan luas lahan garapan serta status keang¬gotaan di LKDPH, dan 3) kebutuhan belajar life skills pesanggem dan sumber potensi lokal di desa Sumberagung berbasis kehutanan sosial. Masing-masing akan dijelaskan di bagian beri¬kut.
Profil Kelembagaan LKDPH
LKDPH sebagai wadah kelembagaan pe¬sanggem dengan jumlah anggota 450 petani, memiliki potensi besar sebagai wadah pembi¬naan dan pemberdayaan pesanggem utamanya untuk mengoptimalkan pemanfaatan hutan da¬lam rangka peningkatan ekonomi masyarakat dan sekaligus wadah untuk berpartisipasi se¬cara aktif dalam upaya pelestarian hutan. Or¬13
ganisasi LKDPH dalam perkembangannya mengalami dinamika kelembagaan baik dalam penyelengaraan kegiatan organisasi maupun dalam penataan struktur organisasi. Dinami¬ka tersebut terlihat dalam reformasi kepeng-urusan terkait dengan aktivitas kelembagaan. Di samping itu LKDPH juga melakukan kerja sama dengan berbagai fihak baik LSM mau¬pun lembaga pemerintah untuk selalu meng-optimalkan perannya dalam peningkatan kesejahteraan anggota maupun usaha keles- tarian hutan.
Kemitraan dan kerjasama LKDPH dengan perum perhutani bertujuan: 1) mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan melalui diversifikasi jenis tanaman dengan cara sistim Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Plus, 2) mening¬katkan peran dan tanggung jawab perusahaan dan masyarakat desa hutan terhadap keberlan¬jutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, 3) meningkatkan kontribusi Perum Perhutani KPH Malang terhadap IPM desa sekitar hutan, 4) meningkatkan pendapatan fihak yang be-kerjasama dan berkepentingan secara simultan, dan 5) mengendalikan aktifitas di luar pengelo¬laan hutan yang dilakukan perhutani.
Profil Aktivitas Pesanggem Berdasar Latar So¬sial Ekonomi, Luas Lahan Garapan, dan Status Keanggotaan di LKDPH
Berdasarkan gambar 1 dapat dikatakan bahwa kelompok usia tua justru memiliki ting¬kat partispasi tinggi dibandingkan dengan ke-lompok usia paroh baya dan muda. Sedangkan kelompok usia paroh baya lebih tinggi partisi¬pasinya dibandingkan kelompok muda. Secara keseluruhan dari 150 responden menunjukkan bahwa kelompok usia tua memiliki tingkat par¬tisipasi tinggi (40%) dibandingkan dengan ke-lompok usia paroh baya (31,3%) dan kelompok
Siti Asmah, Model Bahan Ajar Life Skills Berbasis Perhutanan Sosial
Gambar 1 Profil Aktivitas Pesanggem Berdasarkan Usia
Gambar 2 Profil Aktivitas Pesanggem Berdasarkan Tingkat Pendidikan 14 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
usia muda (28,7%). Demikian pula dengan hasil analisis hubungan antara tingkat partisipasi dan usia pesanggem ditemukan memiliki hubungan secara signifikan.
Hasil analisis tersebut dapat dikuatkan dengan temuan hasil wawancara pada saat orientasi awal dengan pendekatan kualitatif. Hasil wawancara dengan pesanggem kelom¬pok usia paroh baya dan kelompok usia tua menunjukkan lebih rajin dan tekun memeli¬hara wengkon dibanding kelompok usia muda karena kelompok usia muda masih mempu¬nyai pekerjaan sambilan di luar pekerjaan tani di lahan wengkon. Pekerjaan sambilan sebagian pesanggem kelompok usia muda antara lain, sebagai preman (bekerja lepas harian yang di bayar sesuai dengan waktu bekerja). Pesang¬gem kelompok usia muda masih kuat bekerja dan lebih banyak mendapat tawaran kerja dibanding kelompok usia paroh baya atau kelompok tua. Sedangkan kelompok usia tua dan usia paroh baya lebih menikmati bekerja di lahan wengkon dibandingkan mencari kerja di luar baik bidang pertanian maupun bidang lain.
Berdasarkan gambar 2 dapat dikatakan bahwa kelompok tingkat pendidikan rendah, sedang dan tinggi hampir memiliki tingkat partisipasi merata, pada tingkat partisipasi rendah, sedang dan tinggi. Sedangkan ke-lompok usia paroh baya dan usia tua memi¬liki tingkat partisipasi relatif lebih rendah dibanding kelompok pesanggem berpendidik-an rendah. Demikian pula dengan hasil anali¬sis hubungan antara tingkat partisipasi dan tingkat pendidikan pesanggem ditemukan me-miliki hubungan signifikan.
Hasil analisis statistik tersebut apabila dibandingkan dengan hasil orientasi awal melalui pendekatan kualitatif ditemukan tidak adanya keterkaitan antara antara pendidikan dan tingkat partisipasi. Hasil orientasi awal
Gambar 3 Profil Aktivitas Pesanggem Berdasarkan Luas Lahan Garapan
Gambar 4 Profil Aktivitas Pesanggem Berdasarkan Status Lahan 15
menemukan bahwa tingkat pendidikan formal yang relatif rendah tidak menghalangi pesang¬gem untuk terlibat dalam proses pelestarian hutan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Supardjo yang memiliki tingkat pendi- dikan tamat SD dan memiliki pengalaman sebagai Kepetengan (seksi keamanan) Desa Sumberagung. Dia mengatakan bahwa ter¬pilihnya sebagai ketua KPSA Murih Lestari (sebelum LKDPH), karena pengalaman me-ngelola hutan rakyat. Bpk Supardjo yang lebih dikenal dengan panggilan mbah Djo memiliki pengalaman dalam mempengaru-hi warga masyarakat dusun Sumbermulyo untuk mengelola hutan rakyat dalam rangka melidungi dusun Sumbermulyo dari bahaya longsor yang sering menimpa desanya pada saat hutan masih gundul.
Bapak Basri sebagai pensiunan guru SD dan memiliki pendidikan SPG menjadi tum¬puan harapan pesanggem ketika terjadi konflik internal dalam pengelolaan hutan bambu. Di samping itu menurut pengakuan pesanggem sebagai partisipan penelitian bahwa sebagian besar pengalaman belajar mereka diperoleh dari belajar mandiri melalui kegiatan kelom¬pok dengan istilah saling tukar pengalaman. Sistem belajar pesanggem lebih mengutamakan belajar melalui kearifan lingkungan yang di- tinggalkan oleh nenek moyang mereka (Awang, 2006: 207). Sistem belajar mandiri berdasarkan kearifan lokal masyarakat seba¬gaimana dilakukan masyarakat desa Sum¬beragung, sebenarnya telah dikembangkan para pemikir dan perencana pembangunan pedesaan di negara-negara Barat (Adimi¬hardja, 1999).
Temuan penelitian tersebut apabila dicermati berdasarkan teori pendidikan nam¬paknya terdapat hubungan antara teori dan kenyataan sosial, tetapi apabila dikaji ber¬dasarkan teori pendidikan sepanjang hayat (life long education) menunjukkan bahwa pen¬didikan tidak selalu identik dengan pendidi¬kan formal. Hal ini sebagaimana dikemuka¬kan oleh La Belle bahwa pendidikan secara eksternal diarahkan pada proses di mana individu belajar untuk menerapkan penge¬tahuan kognitif, afektif dan psikomotor da¬lam lingkungannya (La Belle, 1976:18). Pen¬didikan yang dimaksud oleh La Belle adalah pendidikan semua jenis, yaitu pendidikan formal, non formal dan in formal, karena pen¬didikan memang mampu merubah perilaku individu, baik anak-anak, pemuda, orang de¬wasa maupun orang tua. Tetapi perubahan perilaku tersebut dapat dilakukan apabila se- seorang telah memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai hasil dari proses pendidikan yang sesuai dengan perilaku yang diharapkan. Dengan demikian dapat dika¬takan bahwa pengetahuan, sikap dan kete-rampilan erat hubungan dengan pendidikan, dan pendidikan erat hubungannya dengan tingkat partisipasi seseorang dalam proses pembangunan, karena dengan pendidikan seseorang dapat merubah perilaku partisi¬patif dalam proses pembangunan. Banyak pakar pembangunan yang mengatakan bah¬wa tingkat partisipasi ini erat hubungannya
Siti Asmah, Model Bahan Ajar Life Skills Berbasis Perhutanan Sosial
Gambar 5 Profil Aktivitas Pesanggem Berdasarar Status Keanggotaan LKDPH16 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
dengan tingkat pendidikan (Mubyarto dan Kartodihardjo, 1988; Soeproyo, 1977; Ru’jat, 1988; Muhadjir, 1983; La Belle, 1976).
Berdasarkan deskripsi tersebut dapat dikatakan bahwa pesanggem yang memiliki lahan sempit dan sedang sebagian ada yang berpartisipasi rendah, sedang dan tinggi, se¬dangkan kelompok pesanggem yang memiliki lahan luas menunjukkan sebagian kecil ber¬partisipasi rendah dan sedang, dan ada juga yang memiliki tingkat partisipasi relatif agak tinggi. Demikian pula apabila dibandingkan dengan hasil analisis hubungan antara tingkat partisipasi dan luas lahan pesanggem ternyata memiliki hubungan tidak signifikan.
Berdasarkan analisis presentase diper¬oleh gambaran bahwa tingkat partisipasi ren¬dah ditemukan 9,7% dari kelompok pesang¬gem yang memiliki wengkon berdasarkan alih tangan, 90,3% berdasarkan imbal tenaga, se-dangkan tingkat partisipasi sedang terdapat 2,2% kelompok pesanggem berdasarkan pem¬belian, 12,9% berdasarkan alih tangan dan 84,9% berdasarkan imbal tenaga. Adapun tingkat partisipasi tinggi terdapat 7,7% ber¬dasarkan pembelian, 23,1% berdasarkan alih tangan dan 69,2% berdasarkan imbal tenaga. Berdasarkan deskripsi tersebut dapat dika¬takan bahwa pesanggem yang memiliki lahan wengkon berdasarkan imbal tenaga lebih ba-nyak dibandingkan dengan pesanggem yang memperolah lahan wengkon berdasarkan pembelian dan alih tangan. Demikian pula tingkat partisipasinya hampir merata dari tingkat partisipasi rendah sedang dan ting¬gi. Demikian pula apabila dilihat dari hasil analisis hubungan antara tingkat partisipasi dan status lahan wengkon ternyata terdapat
Gambar 6 Profil Aktivitas Pesanggem Berdasar Masa Keanggotaan di LKDPH
Tabel 1 Analsis Keterkaitan Kebutuhan Belajar dan Program Life Skills
No.Kebutuhan BelajarProgram Life SkillsBahan Ajar1.Pengembangan pola pikir rasionalKecakapan PersonalBudi daya hutan dan program Perhu-tanan Sosial2.Ketrampilan Kewraga negaraanKecakapan Akademik Kecakapan SosialHak-hak dan kewajiban pesanggem sebagai warga Negara3.Ketrampilan BerkeluargaKecakapan Akademik Kecakapan SosialEkonomi rumah tangga dan KDRT4.Ketrampilan Mencari NafkahKecakapan Akademik Kecapakan Voka-sionalBudi daya tanaman sengon, budi daya tanaman garut dan pemanfaatan bio gas sebagai teknologi alternative17
hubungan sangat signifikan.
Hasil wawancara secara individual mau¬pun wawancara kelompok terfokus menun¬jukkan bahwa pesanggem sangat senang mem¬peroleh lahan wengkon secara gratis. Mereka umumnya mengatakan bahwa memiliki la¬han wengkon pada masa lalu harus membeli dengan harga cukup mahal. Pembelian lahan wengkon sebelum terbentuk kelompok pesang¬gem, dilakukan secara tersembunyi melalui orang-orang tertentu dan cara mengerjakan¬nya juga tidak leluasa. Sekarang Pesanggem dengan leluasa mengerjakan lahan andil, kare-na dilindungi oleh Peraturan Bupati Malang no 53 tahun 2005.
Berdasarkan gambar 5 di atas diperoleh gambaran bahwa tingkat aktivitas rendah berstatus sebagai anggota kelompok, dan juga sebagai pengurus kelompok, sedangkan tingkat partisipasi sedang berstatus sebagai anggota kelompok dan sebagai pengurus kelompok. Adapun tingkat partisipasi tinggi hanya terjadi pada pengurus. Berdasarkan deskripsi tersebut dapat dikatakan bahwa pesanggem yang berpartisipasi aktif sebagian besar adalah pengurus dan sebagian kecil lainnya berstatus sebagai anggota kelompok. Apabila dilihat dari hasil analisis hubungan antara tingkat partisipasi dan status kepengu-rusan dalam kelompok pesanggem ditemukan tingkat signifikasi yang sangat tinggi.
Menurut informasi yang diperoleh da¬lam wawancara individual dan wawancara kelompok terfokus ditemukan bahwa ber¬gabungnya warga masyarakat dalam ke-lompok setelah mereka mengetahui berbagai keuntungan selama bergabung dalam kelom¬pok pesanggem. Berbagai keuntungan tersebut antara lain: mendapatkan lahan andil secara gratis, mendapatkan bibit untuk ditanan di lahan andil, mendapatkan pupuk dari kelom¬pok, dan kemudahan mendapatkan air bersih melalui program pipanisasi untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Berbeda deng-an kepengurusan dalam LKPDH, di mana kepengurusan tersebut diatur berdasarkan Peraturan Bupati Malang nomor 53 Tahun 2005 pasal 9 tentang Susunan Organisasi LKPDH. Menurut Peraturan Bupati Malang tersebut Kepengurusan LKPDH terdiri atas: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, wakil Sekre¬taris, Bendahara, Pelaksana Teknis, Pemban¬tu Umum dan Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas). Kepengurusan LKPDH Wono Mu¬lyo terbentuk pada tahun 2006 yang terdiri dari unsur pengurus inti, antara lain: Ketua, wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris dan Bendahara. Di samping pengurus inti terdapat Pelaksana teknis dan Pengurus Ke-lompok Kerja (Pokja) yang terdapat pada ma-sing-masing RT di wilayah desa Sumberagung. Berdasarkan deskripsi tersebut dapat dikatakan bahwa pesanggem yang berparti-sipasi aktif sebagian besar pesanggem yang memiliki masa keanggotaan lebih dari 8 ta¬hun, sedangkan sebagian kecil saja yang ber¬partisipasi rendah adalah pesanggem yang memiliki masa keanggotaan antara kurang dari 6 tahun sampai dengan 8 tahun. Apabila dilihat dari hasil analisis hubungan antara tingkat partisipasi dan masa keanggotaan da¬lam kelompok pesanggem ditemukan tingkat signifikasi sangat tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara lebih lanjut diperoleh informasi bahwa partisipasi pesang¬gem dalam pengelolaan hutan sudah dimulai sejak jaman Jepang. Pasa masa itu, hutan-hu¬tan di sekitar desa Sumberagung sudah banyak yang gundul dan sering terjadi tanah longsor. Masyarakat sekitar hutan berusaha meng- amankan lahan mereka dengan cara menghu¬tankan kembali dan melakukan penghutanan tegalan (lahan kering) mereka yang dikenal dengan hutan rakyat. Keberhasilan hutan rakyat tersebut menarik perhatian sinder Pe¬rum Perhutani dan Petugas Lapangan dari Di¬nas Kehutanan dan memberikan kepercayaan untuk mengelola hutan bambu serta memberi hak kelola hutan produktif. Atas kepercayaan yang diberikan Perum Perhutani tersebut
Siti Asmah, Model Bahan Ajar Life Skills Berbasis Perhutanan Sosial 18 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010

masyarakat desa Sumberagung semakin ber¬semangat untuk mengelola hutan produktif dan hutan bambu dan dapat menarik minat masyarakat umum di luar bidang pertanian untuk bergabung dalam LKDPH.
Kebutuhan Belajar Life skills Pesanggem dan Sumber-sumber Potensi Lokal
Temuan yang terkait dengan kebutuhan belajar pesanggem, sumber belajar dan potensi lokal desa Sumberagung, antara lain: 1) ke-butuhan pengembangan berpikir rasional; 2) ketrampilan mencari nafkah; 3) ketrampilan berkeluarga; dan 4) ketrampilan berwarga-negara. Keempat kebutuhan dasar tersebut sebagai bahan untuk mengembangkan pro¬gram life skills berbasis Perhutanan Sosial. Program life skills berbasis Perhyutanan Sosial yang akan dikembangkan sebagai model ba¬han ajar terdiri atas: 1) kecakapan personal; 2) kecapakan sosial; 3) kecakapan akademik; dan 4) kecakapan vokasional.
Bila dianalisis, hasil identifikasi kebutuh-an belajar pesanggem yang ditemukan bahwa kebutuhan belajar pokok minimal, terdiri atas: 1) kebutuhan pengembangan berpikir rasional; 2) ketrampilan mencari nafkah; 3) ketrampilan berkeluarga; dan 4) keterampil-an berwarganegara. Temuan hasil penelitian ini apabila dianalisis dengan konsep Coombs (1973) yang dikenal dengan “kebutuhan belajar pokok dan minimal” yaitu: 1) tum¬buh kembangnya sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain; 2) kecakapan baca tu¬lis fungsional; 3) mengembangkan sikap ilmi-ah; 4) keterampilan mencari nafkah, 5) kete-rampilan berkeluarga, dan 6) keterampilan berwarga negara, maka hanya empat kebutuh-an dasar yang akan dibahas terkait dengan program life skill berbasis Perhutanan Sosial. Untuk memberikan gambaran secara utuh keterkaitan kebutuhan, sumber belajar dan potensi wilayah, dapat dilihat pada Tabel 1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1) Profil Lembaga Kemitraan Desa Pengelo¬la Hutan (LKDPH), LKDPH sebagai wadah kelembagaan pesanggem, berpotensi besar se-bagai wadah pembinaan dan pemberdayaan pesanggem utamanya untuk mengoptimalkan pemanfaatan hutan dalam rangka peningkat-an ekonomi masyarakat dan sekaligus wadah untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya pelestarian hutan. Organisasi LKDPH da¬lam perkembangannya mengalami dinamika kelembagaan baik dalam penyelengaraan kegiatan organisasi maupun dalam penataan struktur organisasi. Dinamika tersebut terlihat dalam reformasi kepengurusan terkait deng- an aktivitas kelembagaan; 2) Profil Aktivitas Pesanggem Desa Sumberagung Berdasar Latar Sosial Ekonomi dan Keanggotaan di LKDPH, berdasarkan pembahasan hasil penelitian da¬pat disimpulkan bahwa aktivitas pesanggem dalam pelestarian hutan pada umumnya ber¬sifat positif, walaupun ada beberapa orang yang secara individual aktivitasnya negatif, atau dapat dikatakan bahwa bahwa aktivi¬tas pesanggem memiliki hubungan positif terkait dengan karakteristik pesanggem dilihat dari usia, tingkat pendidikan, pendapatan, luas wengkon, status keanggotaan dan masa keanggotaan dalam LKDPH Wono Mulyo; 3) Kebutuhan Belajar Life Skills Pesanggem yang dibutuhkan sesuai dengan sumber dan po¬tensi lokal berbasis kehutanan sosial ialah ke¬butuhan belajar pokok minimal, terdiri atas: a) kebutukan pengembang-an berpikir ra¬sional, b) ketrampilan mencari nafkah (voka¬sional), c) keterampilan berkeluarga, dan d) ketrampilan berwarga negara. Keempat ke¬butuhan dasar tersebut sebagai bahan untuk mengembangkan program life skills berbasis Perhutanan Sosial. Program life skills berba¬sis Perhutanan Sosial yang akan dikembang¬19

kan sebagai model bahan ajar terdiri atas: a) kecakapan personal, b) kecapakan social, c) kecakapan akademik dan d) kecakapan voka¬sional.
Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian sebagaimana diuraikan pada bagian sebelum¬nya, maka akan dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1) perlu adanya penguatan kelembagaan organisasi Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH) agar aktiv-itas pesanggem tetap berjalan sesuai dengan visi dan misinya, dan tidak terpengaruh arus reformasi dan reorganisasi struktur kepengu¬rusan lembaga karena adanya kepentingan berbagai pihak. Di samping itu juga perlu dibangun pola interaksi sosial di antara ang¬gota kelompok sehingga tidak muncul kon-flik sosial sesama anggota; 2) perlu dibangun suatu pola pemikiran rasional tentang pe-ngelolaan hutan berbasis Perhutanan Sosial (social forestry) dalam rangka kerjasama deng- an pihak Perhutani sebagai pemangku hu¬tan. Hal ini diperlukan agar pesanggem tetap memiliki kekuatan sebagai mitra dalam pro-ses pengelolaan hutan dan tidak diperlaku¬kan sebagai tenaga kerja upahan oleh pe¬mangku hutan; 3) perlu program pendidikan kecakapan hidup (life skills) bagi pesanggem agar dapat hidup secara lebih meningkat kes¬ejahteraannya dan terlepas dari ketergantung- an berbagai pihak serta tidak mengganggu upaya pelestarian hutan tapi justri lebih ber¬sinergi; 4) perlu adanya kelanjutan penelitian sebagai uji coba model bahan ajar berbasis Perhutanan Sosial untuk mendukung pro¬gram life skills bagi pesanggem desa Sumbera¬gung maupun pesanggem lainnya yang terlibat dalam program Perhutanan Sosial.
Siti Asmah, Model Bahan Ajar Life Skills Berbasis Perhutanan Sosial
DAFTAR RUJUKAN
Abraham, M. F. 1982. Modern Sociological Teo¬ry. An Introductions. New York: Oxford University Press.
Anwar. 2006. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education). Bandung: Alfabeta
Awang, S. A. 2001. Gurat Hutan Rakyat. Jogja¬karta: Debut Press.
Awang, S. A. 1999. Forest For People. Berbasis Ekosistem. Bayu Indra Grafika, PT. Yog¬yakarta.
Awang, S. A. 2006. Sosiologi Pengetahuan De¬forestasi (Konstruksi Sosial dan Perlawa¬nan) Yogjakarta: Debut Wahana Sinergi.
Brannen, J. 2002. Mixing Methods: Qualitatitive and QuantitativeReseach.
Bryman, A. 2004. Social Research Method. New York : Oxfors University Press.
Coombs, Philip. H. and Ahmed, M. 1974. At¬tacking Rural Poverty: how non-formal edu¬cation can help, Amerika: John Hopkins Univercity Press
Creswell, John W. 1994. Research Design. Quali¬tative & Quantitative Approaches. London: SAGE Publications.
Elias, John L. and Merriam, Sharan B. 2005. Philosophical Foundutions of Adult Educa¬tion. Florida: Krieger Publishing Com¬pany
Galbraith, M. W. 2004. Adult Learning Meth¬ods. A Guide for Effective Instruction. Flor¬ida: Krieger Publishing Company
Gibson, B. 1993. Sociological Paradigms and Or¬ganizational Analiysis. Element of the Soci¬ology of Corporatif Life. Newcastle: Athe-neum Press.
Hatimah, I. 2007. Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Ter¬buka.
Kurde, H. N. A. (Penterjemah) 2003. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. 20 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
Yogyakarta.: Pustaka Pelajar.
Lawang, R. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diIndonesiakan dari Sociologi¬cal Theory: Clasical Founderand Contempo¬rary Perspctives. By: Paul Doyl Johnsson (1981). Jakarta: Gramedia
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Yogyakarta: P3PK – UGM
Mundzir, S. 1999. Penyusunan Kurikulum Ber¬muatan Lokal Bagi Masyarakat Pinggiran Hutan. Malang: Lembaga Penelitian UM..
Mundzir, S. 2004. Profil Partisipasi Pemuda Pesanggem dalam Pelestarian Hutan: Ka¬sus Pesanggem Desa Benjor, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang: (Peneli¬tian Foudamental). Malang: Lembaga Penelitian UM.
Mundzir, S. 2005. Pembelajaran Sosiologi de-ngan Pendekatan Partisipatif. Malang: Lembaga Penelitian UM.
Mundzir, S. 2006. Peningkatan Partisipasi Be¬lajar bagi Warga Belajar Paket B dengan Pendekatan Motivasi Sosial. Malang: Lem¬baga Penelitian UM
Mundzir, S. 2007. Dinamika Partisipasi Pesang¬gem (Disertasi). Malang: Universitas Brawijaya Malang
Mundzir, S dan Asmah, S. 2008. Dinamika Pe¬rilaku Pesanggem dalam Pelestarian Hutan. (Kajian: Pengelolaan Wengkon Hutan di Kabupaten Malang dalam Perspektif Teori Mikro Makro Ritzer). Lembaga Pe¬nelitian Universitas Negeri Malang
Ritzer, G. 1980. A Multiple Paradigm Science . Alimandan (Penyadur). 2004. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Simon, H. 1995. Hutan Jati dan Kemakmuran . Yogyakarta: Aditya Media
Ritzer, George and Goodman, Douglas J. (TT). Modern Sociological Theory. Alimandan (Penterjemah). 2004. Teori Sosiolgi Mod¬ern. Prenada Media. Jakarta21
Pemahaman Makna dan Pola Aktualisasi
Tindakan Pengasuh Pesantren Salafiyah dalam Merespon
Pembangunan Pendidikan
(Studi Kasus di Beberapa Pesantren Salafiyah
di Malang Jawa Timur)
In`am Sulaiman
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No 5 Malang, Telp. 08125230615
Abstract: This research aims to identify the understanding of the meaning and actualization patterns of the salafiyah religion school leaders (kiai salaf) and their responses toward the devel¬opment of education. This research used a qualitative design, and the subjects were the salafiyah religion school leaders in Malang. The results showed that the kiai salaf did the following:(1) giving the meaning of education development as: (a) possessing an important meaning to edu¬cate the community and develop the noble character; (b) the Indonesians’ duty especially the government of Indonesia; (c) giving more priority to the development of formal education than non-formal education; (d) there are more theories than practice in religious learning; and (2) actualizing their action to respond the educational development in the form of: (a) the develop¬ment of educational programs; (b) the consideration of practical-applicable learning system; and (c) the transformation of Islamic boarding school traditional values to current and future conditions.
Kata kunci: kiai salaf, pengembangan pendidikan, pola- pola aktualisasi
Pondok pesantren (selanjutnya disebut pe¬santren) merupakan lembaga pendidikan Is¬lam tertua di Indonesia yang lahir, tumbuh dan berkembang dari dan atas usaha dan dukung-an masyarakat, serta didorong oleh permin-taan dan kebutuhan riil masyarakat (Yasmani, 2002). Dalam perkembangannya, pesantren muncul dalam beragam bentuk, yang salah satu di ataranya adalah “Pesantren Salafiyah”. Pesantren Salafiyah adalah lembaga pendidi¬kan keagamaan (Islam) tradisional yang masih mempertahankan bentuk aslinya dan semata-mata mengajarkan ilmu agama berdasarkan kitab-kitab kuning sebagai sumber literatur utama, dan penggunaan bandongan dan soro¬gan dalam sistem pembelajaran (Dhofir, 1982). Pesantren salafiyah dipimpin oleh seorang ahli di bidang ilmu agama (Islam), yang dalam pe¬nelitian ini disebut “kiai salaf”.
Proses perubahan sosial yang menerpa ham¬pir setiap aspek kehidupan masyarakat memun¬culkan tuntutan-tuntutan baru dalam berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali tuntutan di bidang pendidikan. Pesantren salafiyah, seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan lain, juga dituntut mampu memenuhi tuntutan-tuntutan perubahan tersebut. Maka kiai salaf dituntut pula mampu menunjukkan kemampuannya. Dalam kaitan inilah muncul keraguan di kalang-an masyarakat, termasuk para pakar di bidang pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, terhadap ke¬mampuan kiai salaf dalam merespon tuntutan perubahan di bidang pendidikan.
Sebagian dari mereka ada yang berpandang- an pesimistis terhadap kemampuan kiai salaf, karena mereka hanya menyelenggarakan pro¬
2122 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
gram-program pendidikan dan dakwah yang bersifat tradisional, konvensional dan eksklusif. Bahkan Geertz (dalam Masdar, 2005) meng¬golongkan orang-orang pesantren ke dalam kelompok orang Islam “kolot”, karena kehi-dupan keagamaan mereka hanya berkisar pada “kuburan dan ganjaran”. Namun sebagian yang lain berpandangan sebaliknya, bahwa pesan-tren salafiyah tidak sertamerta bisa dipandang tradisional dan eksklusif, karena keaktifan para pengasuhnya melakukan transformasi sosial dalam beragam aktivitas sosial.
Di tengah kontroversi tersebut, peran aktif kiai salaf dalam mempertahankan dan mengem¬bangkan pesantren salafiyah semakin kuat. Fenomena itu menandakan bahwa pesantren salafiyah dan peran kiai salaf dalam pendidi¬kan telah mendapatkan kepercayaan dan du- kungan masyarakat. Hal itu dapat dipahamai karena kiai salaf dan pesantren yang diampu¬nya memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu: fungsi religius (diniyah), fungsi sosial, (ijtimaiyah), dan fungsi pendidikan (tarbawiyah) (Ma’ sum da¬lam Qomar, 2002: 23). Fungsi religius bermakna bahwa kiai salaf mengemban amanah sebagai pendidik sekaligus penyebar agama di kalang-an masyarakat; fungsi sosial berarti kiai salaf memiliki tanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dan pemberdayakan masyarakat melalui beragam aktivitas sosial keagamaan; fungsi pendidikan, kiai salaf mengemban tugas sebagai soko guru sekaligus penanggung jawab pengembangan pendidikan dan keagamaan.
Uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa di samping memiliki posisi sebagai se¬orang ahli di bidang ilmu keagamaan dan pengampu pesantren salafiyah, kiai salaf juga dikenal sebagai pemimpin informal yang dalam berperan sebagai orang kunci (key person), sekali gus sebagai agen perubahan sosial. (Horikoshi, 1988). Sebagai agen perubahan, kiai salaf memi¬liki kemampuan melakukan perubahan dan merespon perubahan yang datang dari luar. Bersama dengan kelompok-kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pesantren terlibat aktif dalam program pemberdayaan masyarakat pedesaan (Aribowo, 2001).
Secara teoretik, pembangunan termasuk pembangunan di bidang pendidikan merupa¬kan usaha manusia memanusiakan manusia yang seharusnya dilakukan dengan melibatkan seluruh kemampuan masyarakat, terutama me-reka yang memiliki potensi dalam mendukung keberhasilan pembangunan. Artinya, manusia tidak lagi dipandang sebagai alat pembangu¬nan yang sekedar menjadi obyek pembangu¬nan, tetapi mereka bisa berperan sebagai sub¬yek dan unsur sentral pembangunan
Bertolak dari uraian tersebut di atas, mun¬cul pemikiran bahwa pembangunan pendidikan pada dasarnya tidak bisa dilakukan hanya se¬mata-mata melalui peluncuran program-prog-ram pembangunan dari atas ke bawah (trickel down effect) (Fakih, 2001). Tetapi pembangunan harus berangkat dari bawah berdasarkan atas kebutuhan masyarakat. Maka adalah relevan jika muncul pemikiran bahwa organisasi-or¬ganisasi sosial lokal, seperti kelompok tani, perkumpulan ibu-ibu, dan pesantren salafiyah di pedesaan memiliki peran penting dalam pembangunan “mulai dari bawah” atau ”dari yang paling membutuhkan” (Chambers, 1988). Uphoff (dalam Ndraha, 1987) menemukan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan lokal (local organization) berperan penting da¬lam membantu mengembangkan komunikasi timbal balik antar berbagai pihak. Syaba (2004) menjelaskan bahwa kiai dan pesantren memili-ki 3 (tiga) peran strategis dalam pembangunan masyarakat, yaitu pesantren sebagai lembaga pendidikan, sebagai pusat penggemblengan kader-kader muslim, dan sebagai agen peruba¬han sosial, pengajian rutin, tahlilan, pembacaan shalawat Nabi, kesenian, olah raga, dan berba¬gai media kultural lainnya.
Jika ketiga peran pesantren tersebut dapat dilakukan, maka akar pesantren akan semakin kokoh di tengah masyarakat pedesaan yang masih ”terbelakang”. Kondisi yang demikian itu menjadikan masyarakat pedesaan cenderung 23
rentan dalam menghadapi kekuatan penguasa yang sangat hegemonik dan arus globalisasi yang terus bergerak cepat. Maka kiai salaf yang secara sosiologis memiliki kedekatan dengan masyarakat pedesaan memiliki keunggulan-keunggulan dan akses di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Dalam keadaan demikian, maka kiai salaf berada pada posisi strategis sebagai agen pembaharuan (Syaba, 2004). Karena ko¬munikasi yang efektif antara agen pembaharu dan binaan terjadi bila mereka sepadan (ho¬mofili), karena komunikasi itu menyenangkan (Rogers, dalam Hanafi, 1994).
Sayangnya tidak semua kiai salaf yang mengampunya mampu menjalankan peran stra-tegis dalam mengimbangi perkembangan pembangunan, sehingga perkembangan pe¬santren banyak diwarnai oleh “pasang surut’’ dan ‘’hilang munculnya’’ pesantren (Abdullah, 1987). Bahkan Geertz (Masdar, 2005; Fatchan, 2004) menggolongkan orang-orang pesantren ke dalam kelompok orang Islam “kolot”, karena kehidupan keagamaan mereka hanya berkisar pada “kuburan dan ganjaran”. Lebih lanjut Geertz menyatakan bahwa kiai adalah agen perubahan sosial yang pasif karena ia hanya menerima begitu saja perubahan budaya yang datang dari luar. Wertheim memperkuat penda¬pat Geertz, bahwa kaum santri tidak memiliki masa depan dan mereka akan dikalahkan oleh kelompok-kelompok yang memiliki pandangan lain (Sudradjat, 1994).
Penilaian dan stigmatisasi tersebut di kala-ngan pengamat pesantren, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar Indonesia telah sampai pada suatu konsensus, bahwa pe¬santren dan kiai pesantren menjadi faktor peng¬hambat kemajuan masyarakat. Pandangan yang demikian itu menurut Dhofier (1982) adalah ke¬liru, sebab realitas sosial membuktikan bahwa di tengah maraknya pembangunan sosial ekonomi dewasa ini justru para kiai tetap merupakan sekelompok orang yang bersedia membangun kesejahteraan spiritual bangsanya. Kekeliruan para pengamat itu disebabkan karena dua hal: (1) mereka meng-anggap bahwa nilai-nilai spi-ritual yang dipegang dan dianjurkan oleh para kiai pesantren tidak lagi relevan dengan dunia modern; dan (2) mereka mengira bahwa kiai tidak mampu menerjemahkan nilai-nilai spiri¬tual tradisional itu untuk pemuasan kebutuh-an kehidupan modern. Samson (1978; Masdar, 2005) mengemukakan bahwa setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan para pengamat gagal memahami dan menilai dunia pesantren. Pertama, mereka mempelajari pesantren dan Is¬lam tradisional bukan dari perspektif komuni¬tas pesantren itu sendiri, melainkan dari penda¬pat dan tulisan-tulisan yang dikemukakan oleh kalangan Islam modernis (a modernist point of view). Maka terjadilah salah kaprah, yaitu sesuatu yang salah tetapi lama-kelamaan dianggap be¬nar. Kedua, para pengamat kebanyakan produk pendidikan Barat yang liberal, sehingga besar kemungkinan penilaian mereka terhadap pe¬santren dan Islam tradisional di Indonesia bias modernisasi.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka konsep modernisasi bagi mereka mengikuti kerangka pemikiran Spencer (Fakih, 2001), yang disebut sebagai Darwinisme Sosial, bahwa yang dapat dan berhak hidup dan maju (survival of the fittest) adalah individu-individu atau kelompok yang mampu menyesuaikan diri dengan tuntut-an modernisasi, sedangkan individu-individu dan kelompok yang gagal dalam menyesuai¬kan diri tidak layak lagi untuk hidup (nonviable species). Horikoshi (1987) mempertajam penda¬pat Dhofier. Ia menemukan bukti bahwa kiai di pedesaan tidak hanya berperan sebagai penahan arus perubahan atau sebagai “makelar budaya” dalam proses pembangunan sebagaimana di- nyatakan dalam tesis Geertz; kiai juga bukan so¬sok yang berperan pasif dalam proses perubahan sosial. Sebaliknya, kiai menjadi agen pembaha¬ruan yang aktif mendorong terjadinya proses perubahan, serta menciptakan peluang-peluang pendidikan dan ekonomi di kalangan masyarakat pedesaan. Bruinessen (1995: 331) menunjukkan peran penting kiai dalam melawan penjajah.
In’am Sulaiman, Pemahaman Makna dan Pola Aktualisasi Tindakan24 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010

Sebagaimana telah dikemukakan terdahu-lu bahwa penelitian ini ngin mengidentifikasi pemahaman makna pembangunan pendidik-an dalam perspektif kiai salaf. Secara sosiolo¬gis, penelitian ini dapat dikaji dan dianalisis dengan menggunakan perspektif positivisme dan interpretativisme. Para sosiolog cende-rung mengkontraskan kutub positivisme de- ngan interpretivisme (Faisal, 1996).Paradigma positivisme berasumsi bahwa perubahan sosial terjadi dan bermula pada tataran sistem atau kelembagaan. Bahwa sistem sosial itulah yang memaksa dan menekan individu-individu se- hingga terjadi proses perubahan sosial.
Dalam perspektif positivisme, perubahan sosial dipandang sebagai fakta sosial (social fact). Durkheim (Johnson, 1986, Ritzer, 1992) sebagai salah satu tokoh positivisme menyatakan bahwa fakta sosial tidak dapat direduksikan ke fakta individu, tetapi memiliki esensi yang indepen-den pada tingkat sosial. Dikemukakan bahwa fakta sosial memiliki tiga ciri utama, yaitu: (1) eksternalitas, bahwa ia berada di luar individu, karena itu fakta sosial bersifat “langgeng”; (2) paksaan, bahwa ia memiliki daya paksa ter-hadap individu untuk melaksanakan dan men- taatinya; dan (3) sifat umum, ia tersebar di kalan¬gan warga masyarakat dan menjadi miliknya.
Dalam hubungan ini maka tindakan kiai salaf dalam memahami dan memaknai pembangunan pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu upaya mempertahankan solidaritas dan homo-ginitas. Tindakan kiai salaf itu akan dapat men¬ciptakan suatu kesejajaran (equalibrium) kehidup-an sosial. Durkheim (Johnson, 1986) membagi solidaritas sosial ke dalam dua bagian, yaitu soli- daritas mekanik dan solidaritas organik. Soli¬daritas mekanik didasarkan pada suatu ke¬sadaran kolektif (collective consciousness) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan senti¬men bersama pada masyarakat yang sama. Se¬dangkan solidaritas organik muncul di ka¬langan masyarakat yang pembagian kerjanya didasarkan saling ketergantungan di kalangan warga masyarakat.
Parsons menggunakan konsep fungsionalis-me struktural untuk mengkaji dan menganalisis proses transformasi sosial secara evolusioner (Ritzer, 2000). Bagi Parsons, perubahan struk-tural mengikuti pola evolusioner, dimana setiap fase proses perubahan dapat dibedakan melalui perkembangan yang semakin kompleks, baik dalam jumlah maupun ragam spesialisasi unit-unit suatu sistem sosial. Ia berpendapat bahwa setiap sistem sosial, harus memenuhi empat persyaratan fungsional, yaitu menyesuaikan diri (adaptation), pencapaian tujuan (goal attain¬ment), integrasi (integration), dan mempertahan-kan pola (latent pattern maintenance).
Pesantren salafiyah sebagai lembaga pen¬didikan keagamaan dan pendidikan moral mempunyai berbagai fungsi dalam subsistem kehidupan. Tidak ada sistem atau subsistem yang tidak memerlukan pendidikan, termasuk pendidikan agama dan moral.
Dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan terbuka, kesempatan yang luas ter-buka bagi setiap warga untuk naik pada strata sosial yang lebih tinggi, walaupun juga terbu¬ka kemungkinan untuk bergerak turun pada lapisan yang lebih rendah. Menurut Tilly (da¬lam Fatchan 2004), perubahan yang lebih inten¬sif terjadi pada subkomunitas kecil; perubahan diorganisir secara politis terkait kepentingan kelompok, dan terjadi pada jaringan masyarakat patronklien.
Pandangan positivisme sebagaimana diuraikan di atas tidak terlepas dari kri¬tik dari kalangan para ahli sosiologi kelom¬pok idealisme. Menurut pengikut idealisme, pandangan positivisme terlalu memberi te¬kanan pada sistem atau lembaga sosial dan mengabaikan realitas manusia sebagai indi¬vidu yang berkepribadian, memiliki kemam¬puan berpikir, dan penuh kesadaran dalam setiap melakukan suatu tindakan. Perubah- an sosial bersumber dari masyarakat atau in¬stitusi sebagai suatu sistem, dan memandang individu sebagai elemen tidak berarti.
Golongan idealisme berpendirian sebalik-25

nya, bahwa fenomena sosial berbeda dengan fe-nomena alam sebagaimana perhatian positivis-me. Bagi mereka, individu yang menyebabkan terjadinya proses perubahan dalam masyarakat. (Faisal, 1996). Bagi kelompok idealisme, tindak-an manusia tidaklah mekanistik sebagaimana benda-benda alam, melainkan senantiasa me¬libatkan interpretasi, kesadaran, dan makna subyektif manusia sebagai aktor itu. Kasus di Cina memberi gambaran nyata bahwa pe¬rubahan sosial bersumber dari pribadi-pribadi para politikus atau raja. Cohen (dalam Fatchan, 2004) menemukan bahwa perubahan sikap dan tingkah laku petani dalam menerapkan pupuk kimiawi sangat tergantung pada perubahan sikap dan tingkah lakunya, bukan pada lem¬baga bentukan pemerintah. Horikoshi (1987), yang meneliti “Kiai dan Perubahan sosial” me¬nemukan bahwa kiai (pesantren) berperan aktif dan kreatif dalam proses perubahan sosial. Zi¬emek (1998) mengemukakan bahwa kiai tidak hanya berfungsi menyaring unsur-unsur bu¬daya luar yang menyentuh kehidupan mere-ka, tetapi juga mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri, bahkan dia mempra¬karsai agenda perubahan nyata sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut diperkuat oleh Fatchan (2004) yang juga menemukan hal serupa, bahwa kiai, santri, dan petani memberi¬kan makna secara berbeda terhadap perubahan sosial di bidang pertanian, dan melakukan tin¬dakan yang berbeda pula.
Terkait dengan uraian di atas adalah ke¬nyataan bahwa tindakan kiai salaf merespon pembangunan pendidikan tidaklah muncul de-ngan sendirinya, tetapi melalui proses yang pan¬jang dan kompleks. Dikatakan demikian, karena tindakan itu terjadi setelah melalui proses pe¬mahaman dan interpretasi terhadap fenomena pembangunan tersebut, dengan mempertim¬bangkan untungrugi.
Yang dimaksud tindakan (action) adalah “....in the sense of subjectively understandable orienta¬tion of behavior exists only as the behavior of one or more individual human being” (Weber dalam Ritzer, 2000). Menurut Weber, tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori tindakan sosial (social action theory), merupakan teori sosiologi yang bersandar pada paradigma interpretif (Barrell dan Morgan, 1979). Menurut Weber, hanya individu-individu yang riil se¬cara obyektif, sedangkan masyarakat merupa¬kan satu nama yang menunjuk pada sekumpu¬lan individu-individu (Ferguson, 2001). Weber (Ritzer, 1997) mengemukakan lima ciri tindakan sosial, yaitu: (1) tindakan manusia, yang menu¬rut aktor mengandung makna subyektif, yang meliputi berbagai tindakan nyata, (2) tindakan nyata yang bersifat membatin dan bersifat sub¬yektif, (3) tindakan sebagai pengaruh positif dari situasi, tindakan yang sengaja diulang dan tindakan dalam bentuk persetujuan secara di¬am-diam, (4) tindakan yang diarahkan kepa¬da seseorang atau kepada beberapa individu, dan (5) tindakan itu memperhatikan tindak- an orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Setiap tindakan individu dipengaruhi dan diarahkan oleh rasionalitas; bahwa tindakan itu merupakan perilaku yang didasarkan kare-na kebiasaan (tradisi) dan masyarakat terbiasa melakukannya untuk mencapai tujuan yang di¬inginkan, maka tindakan emosional atau afektif dan tindakan yang berorientasi nilai memiliki rasionalitas sendiri-sendiri; demikian halnya tindakan rasional instrumental yang dipandang sebagai tipe tindakan rasional yang paling tinggi (Johnson, 1986). Dengan demikian maka tindak-an kiai salaf dan berbagai aktivitas sosial lain yang dilakukan “tanpa pamrih”, terdapat hubung- an antara realitas sosial dan keteraturan sosial (Abdullah, 1979). Tindakan seseorang yang loyal kepada orang lain, boleh jadi karena do-rongan kualitas orang tersebut, atau karena ada motif lain.
Dalam konteks komunitas pesantren di¬mana kiai salaf sebagai tokoh utama, berlang¬sung suatu tradisi berupa perilaku ketaatan
In’am Sulaiman, Pemahaman Makna dan Pola Aktualisasi Tindakan26 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
masyarakat kepada nilai-nilai keagamaan dan penghormatan kepada kiai yang lebih senior, keikhlasan, kebersamaan, kesederhanaan dan kemandirian (Dhofier, 1982; Abdullah, 1987), ter¬masuk kepercayaan mengenai bagaimana cara menghornati, mengemukakan pendapat yang baik dan santun di depan orang lain, dan ber¬bicara dengan orang lain. Maka jika ada orang yang mengungkapkan pendapatnya berten¬tangan dengan nilai keagamaan atau pendapat kiai, atau menyampaikan pendapatnya dengan kurang santun, ia akan mendapat sanksi so¬sial berupa sebutan tidak sopan, merendahkan agama dan kiai, dan sebutan lain yang bersifat kurang etis. Sebaliknya mentaati dan menghor¬mati kiai, cepat atau lambat akan memperoleh berkah dalam hidupnya.
Tindakan kiai salaf tidak terlepas dari unsur-unsur kehidupan sosial dimana tindakan itu dilakukan. Namun, unsur-unsur itu tidak berarti terkait dengan keseluruhan struktur sosial. Tindakan individu kiai salaf yang di¬wujudkan dalam bentuk cara-cara beribadah, pola-pola sikap dan tindakan dalam membina umat, dalam pengembangan pendidikan pe¬santren dan tindakan bermasyarakat yang lain telah mentradisi di kalangan mereka, tidak serta merta merupakan bagian dari pengaruh struk¬tur sosial komunitas tersebut.
Dalam perspektif fenomenologi, pemaham-an terhadap suatu fenomen sosial tergantung pada perspektif dan penafsiran manusia (Bog¬dan dan Biklen, 1982). Schutz (dalam Ritzer, 1992) berpendapat bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial jika tindakan itu memberi arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang be¬rarti. Dengan kata lain ia berusaha memahami makna yang ada di balik fenomena perubahan sosial yang tampil dalam kehidupan sehari-hari. Bogdan dan Biklen (1982) menggolongkan pendekatan fenomenologi ke dalam jenis pene¬litian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan tradisi dalam ilmu pengetahuan sosial yang se¬cara fundamental tergantung pada pengamat-an manusia (Kirk dan Miller, dalam Moleong, 2005). Sedangkan Husserl (dalam Fatchan 2004) menggunakan pendekatan fenomenologi seba¬gai reaksi terhadap kajian yang berbasis fung¬sionalisme dan konflik yang cenderung bersifat struktural dan positivistik, dan terhadap pan¬dangan psikologi sosial yang cenderung mene-kankan pada interaksi sosial dan tingkah laku sosial. Kedua pendekatan tersebut saling ber¬jauhan dan tidak menyentuh pada “makna”.
Husserl menawarkan pendekatan feno-menologi sebagai refleksi transedental, dimana suatu fenomena sosial merupakan refleksi dari realitas yang kompleks. Karena itu untuk me¬mahami pandangan kiai salaf terhadap pem¬bangunan pendidikan, perlu memahami dunia makna dan kesadaran pada diri individu kiai salaf.
METODE
Penelitian ini bermaksud mengidentifikasi pemahaman makna pembangunan pendidikan dalam perspektif kiai salaf dan berbagai aktivi-tas sosial yang diaktualisasikan sebagai respon terhadap pembangunan pendidikan. Karena itu, fokus penelitian ini adalah “pemahaman makna” dan pola aktualisasi kiai salaf. Dengan demikian maka relevan jika penelitian ini dikaji dan dianalisis dengan menggunakan paradig¬ma definisi sosial yang berasumsi bahwa manu¬sia sampai derajat tertentu, bebas membentuk dunia kehidupan pribadi nereka, atau bahkan dunia sosial yang lebih luas di mana mereka merupakan bagiannya.
Penelitian ini menggunakan desain kuali¬tatif dengan pendekatan fenomenologi. Asum¬sinya adalah bahwa pemahaman terhadap suatu fenomena sosial sangat tergantung pada perspektif dan penafsiran manusia (Bogdan dan Biklen, 1982). Subjek penelitian ini adalah kiai salaf, yaitu seseorang (kiai) yang memimpin dan mengasuh pesantren salafiyah. 27
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, tahap persiapan lapangan, tahap penelitian lapangan, dan tahap analisis data. Pengumpul-an data menggunakan teknik pengamatan peran serta, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model interaktif dari Miles dan Huberman, dengan langkah-langkah: reduksi data, penyajian data, penarik-an kesimpulan dan verifikasi.
HASIL
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dapat dikemukakan bahwa informan memaha¬mi pembangunan pendidikan yang dilakukan oleh Pemerintah. Pembangunan pendidikan itu dinilai sebagai hal yang sangat positif. Tujuan¬nya pun jelas, yaitu untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Di samping itu, keberhasilan pem¬bangunan pendidikan memerlukan dukungan masyarakat yang memahami dan peduli pada pendidikan. Di samping itu pembangunan pen¬didikan perlu diusahakan agar berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat.
Informan memaknai pembangunan pen¬didikan sebagai: (1) usaha yang sangat penting untuk mencerdaskan masyarakat dan mengem¬bangkan budi pekerti luhur. Karena itu infor¬man memandang bahwa program-program pembangunan itu perlu mendapatkan dukung-an dari semua lapisan masyarakat. Tanpa du¬kungan masyarakat, program pembangunan pendidikan itu tidak akan berhasil; (2) kewa¬jiban sekaligus tanggung jawab masyarakat In¬donesia, terutama Pemerintah; (3) usaha yang berlangsung secara tidak adil dan seimbang. Hal itu terlihat dari penekanan pembangunan pada pengembangan sistem pendidikan formal, dan kurang memperhatikan pendidikan non¬formal, termasuk di dalamnya adalah pendidi¬kan pesantren. Ketidakadilan dan ketidakseim¬bangan pembangunan pendidikan itu dapat dilihat pula dari jumlah jam pelajaran yang di- alokasikan untuk mata pelajaran agama dan mata pelajaran-mata pelajaran lain non-agama; dan (4) proses pembelajaran yang lebih banyak diberikan secara teoritik dari pada praktik.
Penelitian ini juga menemukan bahwa infor¬man adalah pemuka masyarakat yang ahli di bi¬dang agama dan masih berpegang teguh pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan. Ka-rena itu pola aktualisasi tindakan yang mereka lakukan sebagai respon terhadap perkembangan pendidikan adalah pengembangan kurikulum pendidikan yang bersifat ekstrani. Kurikulum itu berisi antara lain pendidikan keterampilan produktif, seperti keterampilan komputer, ba¬hasa Inggris, dan keterampilan hidup (life skill) yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Pembelajaran yang berorientasi pada ke-terampilan hidup dilakukan dalam beragam bidang, antara lain: bidang pertanian, perke¬bunan, peternakan, dan otomotif. Keterbatasan dana yang dimiliki lembaga, proses pembelajar-an keterampilan produktif diupayakan meng¬gunakan media pembelajaran lokal yang bersifat inovatif dan efisiensi tinggi, dengan melakukan penyesuaian kemajuan teknologi dan perkem¬bangan kebutuhan masyarakat.
PEMBAHASAN
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian terse¬but di atas dapat diketahui bahwa informan pada umumnya memahami program-program pembangunan pendidikan yang dilakukan Pe¬merintah. Pembangunan pendidikan dinilai se¬bagai hal yang amat positif dan karena itu perlu dilanjutkan, karena bertujuan untuk mencerdas¬kan kehidupan bangsa. Di samping itu, keber¬hasilan pembangunan pendidikan memerlukan dukungan masyarakat. Sungguhpun demikian, pembangunan pendidikan masih perlu dikem¬bangkan lagi, terutama dalam pemerataan dan mewujudkan keseimbangan sasaran pemba-ngunan. Pemerataan dan keseimbangan pem¬bangunan diperlukan karena pembangunan pendidikan selama dinilai lebih mempriori¬
In’am Sulaiman, Pemahaman Makna dan Pola Aktualisasi Tindakan28 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
taskan pembangunan pendidikan formal dari pada pendidikan nonformal, termasuk pendidi¬kan pesantren salafiyah. Ketidakseimbangan pembangunan pendidikan juga dapat dilihat dari jam pelajaran yang dialokasikan bagi seti-ap mata pelajaran. Informan menyoroti adanya ketimpangan yang sangat mencolok antara jam pelajaran pendidikan agama dan mata pela¬jaran non-agama. Mata pelajaran agama se¬lama ini hanya diberikan dengan alokasi 2 jam pelajaran, yang menurut informan sangat jauh dari mencukupi. Bahkan mereka memandang sedikitnya alokasi jam pelajaran bagi mata pel-ajaran agama mencerminkan ketidaktahuan pe-ngelola pendidikan akan pentingnya pendidik-an agama bagi masyatakat.
Di samping itu pendekatan pembelajaran agama dinilai lebih banyak berifat konseptual teoritik dari pada praktis aplikatif. Dengan kondisi pendidikan agama demikian maka wa¬jar apabila sistem pendidikan itu menghasil¬kan lulusan yang, sebagian, kurang memahami apalagi menghayati dan mengamalkan perin¬tah agama, dan oleh karena itu pelanggaran terhadap nilai-nilai moral keagamaan menjadi fenomena yang tidak mudah dipecahkan. Da¬lam hal inilah maka pembangunan pendidikan dimaknai sebagai pengembangan budi pekerti peserta didik.
Jika pandangan informan tersebut dirunut lebih jauh, maka akan sampai pada satu titik pemahaman bahwa informan memiliki kepeka¬an terhadap fenomena kependidikan yang ter¬jadi di masyarakat. Kemampuan informan yang demikian itu tidak mengherankan karena pada umumnya mereka berada pada tingkat status sosial ekonomi relatif tinggi di masyarakat, walaupun mereka umumnya berlatar bela¬kang pendidikan pesantren salafiyah, artinya, di samping menjadi guru atau ustadz, infor¬man adalah juga sebagai pemimpin-pemimpin informal yang disegani masyarakat. Karena itu mereka berusaha memahami dinamika sosial melalui beragam sumber informasi yang terse¬dia. Hal ini sejalan dengan pendapat Rogers dan Schumaker (dalam Sulaiman, 1991) bahwa orang yang memiliki status sosial ekonomi le-bih tinggi dari masyarakat lain, akan lebih cepat mengadopsi inovasi. Informan, walaupun se-tiap hari mengampu pesantren salafiyah, memi¬liki status sosial ekonomi relatif tinggi yang bisa mempengaruhi dan membentuknya menjadi sosok pemuka masyarakat yang moderat.
Secara sosiologis, pemikiran informan tentang pembangunan pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap warga masyarakat yang lain karena ketaatan mereka terhadap in¬forman. Menurut Milgram (dalam Koeswara, 1989) kepatuhan seseorang kepada individu lain dilandasi oleh kemampuan individu itu dalam memandang dirinya secara simpel se¬bagai instrumen yang bisa digunakan menu¬rut kehendak individu lain. Di samping itu, menurut Milgram individu akan cenderung mengembangkan kepatuhan terhadap perintah untuk melakukan suatu tindakan yang menu¬rut persepsinya baik atau penting. Karena itu pemaknaan informan terhadap pembangunan pendidikan, positif atau negatif, cenderung dii¬kuti oleh orang lain.
Dari paparan hasil penelitian dapat dipa¬hami pula bahwa informan melakukan bera-gam tindakan atau aktivitas pendidikan sebagai respon terhadap pembangunan pendidikan. Beberapa di antaranya adalah dengan mengem¬bangkan kurikulum ekstra bagi para santri, se-perti penyelenggaraan pendidikan komputer, bahasa Inggris, belajar pidato, seminar atau biasa disebut halaqah (Arab). Di samping itu in-forman sangat menyadari bahwa munculnya teknologi baru seperti komputer sangat mem¬bantu proses administrasi. Untuk itu mereka umumnya menyediakan fasilitas komputer da¬lam pengelolaan administrasi pesantren.
Sungguhpun demikian, teknologi baru di¬lihat oleh informan sebagai sosok barang yang bisa menimbulkan pengaruh negatif bagi ma¬nusia. Misalnya, komputer tidak digunakan se¬bagai alat untuk mengerjakan kegiatan prositif produktif, tetapi untuk kepentingan bermain 29
dan bahkan ada pula yang menggunakan un¬tuk kegiatan yang melanggar syari`at agama (Islam). Jika demikian, maka tindakan yang akan dilakukan seseorang sayogyanya mengi¬kuti kaidah: menggunakan fasilitas yang telah dimiliki yang masih baik, dan mengambil fasili¬tas baru yang lebih baik.
Proses transformasi nilai-nilai salafiyah sebagai respon terhadap pembangunan pen¬didikan tidak mudah dilakukan, terlebih lagi teknologi itu memerlukan dukungan fasilitas lain yang boleh jadi mengandung resiko keru¬gian dan kemudharatan tinggi, dan kerugian secara ekonomis juga cukup banyak. Sungguh¬pun demikian, secara umum informan sudah berupaya menerapkan teknologi baru dalam mendidik para santri. Pembelajaran yang bersi¬fat praktis yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan, seperti pertanian, perkebunan, pe¬ternakan, diberikan dalam bentuk pembelajar-an praktis telah dilakukan, demikian halnya dengan media pembelajaran yang digunakan, diupayakan untuk disesuaikan dengan perkem¬bangan teknologi yang bisa terjangkau.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, pene¬litian ini menghasilkan beberapa proposisi seba¬gai berikut: (1) status sosial dan ekonomi, serta kondisi konteks seseorang mewarnai bentuk pemaknaannya terhadap program pembangu¬nan yang terjadi di lingkungan sistem sosialnya; (2) dinamika pembangunan pendidikan dapat memberi inspirasi positif bagi para pengelola pendidikan di mana program pembangunan itu berlangsung; dan (3) nilai sosial dan nilai kea¬gamaan turut membentuk pola sikap tindakan seseorang dalam merespon dinamika pemba-ngunan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pembangunan pendidikan dipandang oleh informan sebagai: (a) usaha yang sangat penting untuk mencerdaskan masyarakat dan mengem¬bangkan budi pekerti luhur, karena itu perlu didukung oleh semua lapisan masyarakat; (b) kewajiban dan tanggung jawab masyarakat In¬donesia, terutama Pemerintah; (c) usaha yang berlangsung secara tidak seimbang, sebagaima¬na tampak dari penekanan pada pengembangan sistem pendidikan formal, dan kurang memper¬hatikan pendidikan nonformal, termasuk pen¬didikan pesantren. Ketidakseimbangan pem¬bangunan itu dapat dilihat pula dari jumlah jam pelajaran yang dialokasikan bagi mata pelajaran agama dan mata pelajaran-mata pelajaran non-agama; dan (d) proses pembelajaran lebih ba-nyak diberikan secara teoritik dari pada prak¬tik.
Informan pada umumnya adalah pemuka masyarakat pedesaan yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kea¬gamaan. Karena itu pola aktualisasi tindakan dalam merespon perkembangan pendidikan itu mereka lakukan dalam bentuk pengembang-an kurikulum ekstrani, yang berisi pendidik-an ketrampilan komputer, bahasa, dan kete-rampilan hidup (life skill) berbasis kebutuhan masyarakat.
Pembelajaran yang bersifat praktis lebih ditekankan terutama yang terkait dengan kete-rampilan hidup, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, dan otomotif. Di samping itu, me¬dia pembelajaran lokal yang bersifat inovatif dan memiliki efisiensi tinggi diupayakan dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran ke-terampilan, dengan melakukan penyesuaian terhadap kemajuan teknologi dan perkembang-an kebutuhan nyata masyarakat.
Saran
Kiai Pengasuh Pesantren Salafiyah (Kiai Salaf) adalah tokoh agama yang memiliki pen¬garuh cukup besar dalam masyarakat. Dengan pengaruh itu, mereka mampu memperlancar dan atau bahkan menghambat proses pemba-
In’am Sulaiman, Pemahaman Makna dan Pola Aktualisasi Tindakan30 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
ngunan di desa mereka, termasuk pembangu¬nan pendidikan. Karena itu, pelibatan kiai salaf dalam mencapai keberhasilan pembangunan pendidikan, secara aktif perlu dilakukan.
Pembangunan pendidikan sayogyanya dirancang secara adil, merata dan seimbang antara sistem pendidikan formal dan pendidik-an nonformal. Dalam konteks pengembang-an pendidikan, pendidikan pesantren sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional sayogyanya mendapat perhatian dan dukung-an sama dengan satuan-satuan pendidikan lain. Para santri, seperti halnya para siswa di sekolah-sekolah formal, merupakan aset bangsa yang memerlukan perhatian dan dukungan bagi ke-berhasilan pendidikan mereka.
Penelitian tentang peran tokoh agama, khususnya kiai salaf dalam pembangunan pen¬didikan masih perlu dilakukan lebih mendalam; di samping hasil penelitian itu akan bermanfaat bagi perencana dan pelaksanaan pembangunan pendidikan, teori-teori yang dihasilkan akan dapat memperkaya khasanah keilmuan pen¬didikan, khususnya dalam kajian pendidikan nonformal berbasis pesantren.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, T. (Ed). 1979. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Bruinessen, M. V. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indone¬sia. Bandung: Mizan.
Burrell, Gibson dan Morgan, G. 1994. Sociologi¬cal Paradigms And Organisational Analysis. Ashgate: Brookfield Publishing Compa¬ny.
Dhofier, Z. 1982. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Fakih, M. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: INSIST Bekerjasa¬ma dengan Pustaka Pelajar.
Fatchan, A. 2004. Makna Pembangunan Pertanian Bagi Kiai, Santri, dan Petani di Madusari Malang. Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya. Tidak ditebitkan.
Faisal, S. 1994. Merancang Penyelenggaraan Pene¬litian Kualitatif. Malang: Departemen Pen¬didikan dan Kebudayaan IKIP Malang
Ferguson, H. 2001. Phenomenology and So¬cial Theory. Dalam George Ritzer & Barry Smart (Eds): Handbook of Social Theory, Cal¬ifornia: SAGE Publication Inc.
Horikoshi, H. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pe¬santren dan Masyarakat (P3M).
Johnson, D P. 1986. Sociological Theory Classic-al Founders and Contemporary Perspec¬tives. John Wiley & Sons, Inc. Robert M. Z. Lawang (Penterjemah) 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2, Jakarta: PT. Grame¬dia.
Lincoln, Yvonna S. dan Guba, Egon G. 1985. Na-turalistic Inquiry, California: SAGE Public-ation Inc.
Mas’ud, A. 2004. Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta. LKiS.
Miles, Mathtew B. dan Huberman, A. Michael. 1984. Qualitative Data Analysis, Beverly Hills California: SAGE Publications, Inc.
Moleong, L.J. 2005. Metodologi Penelitian Kuali¬tatif, Edisi Revisi. Bandung: Remaja Ros¬dakarya.
Qomar, M. Tanpa tahun. Pesantren dari Transfor¬masi Metodologi Menuju Demokratisasi Insti¬tusi. Jakarta: Erlangga.
Ritzer, G. 1992. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Allyn and Bacon Inc. Alimandan (Penyadur). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Ber¬paradigma Ganda,Edisi kedua. Jakarta: PT. Rajawali Press.
Sudrajat, A. 1994. Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Indonesia. 31
Jakarta. Bumi Aksara.
Syaba, A. N. 2004. ”Dialektika Pesantren Mera¬mut Basis Memahami Gerakan Pesantren dengan ’Nalar Pesantren’”. Dalam BINA PESANTREN Edisi 2/2004. Jakarta: Proyek Peningkatan Pondok Pesantren Depag RI Bekerjasama dengan P3M.
Whimster, S. 2001. Max Weber : Work and In¬terpretation. Dalam George Ritzer & Bar¬ry Smart (Eds). Handbook of Social Theory. London: SAGE Publications Ltd.
Waters, M. 1994. Modern Sociological Theory. Lon¬don: Sage Publications.
Yasmani. 2002. Modernisasi Pesantren: Kritikan Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press.
Ziemek, M. 1986. Pesantren dalam Perubahan So¬sial. Jakarta: Perhimpunan Pengemban¬gan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Zeitlin, I. M. 1998. Rethinking Sociology: A critique of Contemporary Theory. Anshori dan Juan¬da (Alih Bahasa). Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
In’am Sulaiman, Pemahaman Makna dan Pola Aktualisasi Tindakan32 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
Upaya Mengembalikan “Self Confident” Siswa
Dari Trauma Musibah Banjir Bandang di SMPN 2 Panti Kecamatan Panti Kabupaten Jember
Mariyatul Qibtiyah
Universitas Islam Jember, Jl. Kiyai Mojo 39, Telp. 08125230615
Abstract: The objective of this research is to develop instructional material for a short course on stone and concrete for thte students of vocational high school (SMK), construction engineer¬ing program, based on the laboratory training method. This training is part of the development research. The test of the product for the first year was carried out in two stages, namely (1) expert judgment, and (2) individual assessment. The expert judgment was carried out by in¬volving the experts on instructional content (civil or construction engineering) and experts on learning technology. The experts on content were the lecturers from higher educational institu¬tions with minimum qualification of master/doctoral degree, specializing in construction/civil engineering, while the experts on learning technology are the lecturers of higher educational institutions with minimum qualification of master/doctoral degree, specializing in learning technology. With the completed data analysis, it can be stated that: this research has produced instructional material for a short course on stone and concrete, for Class XI. The instructional material consists of teacher’s guidance, lesson plan and the material for the students in the form of job sheet for them
Kata kunci: pelatihan laboratorium, latihan, beton dan batu
Peristiwa mencekam saat bencana benar-benar membuat trauma warga. Generasi yang terbe¬bani perasaan traumatik terus menerus akan mengganggu dan menghalangi individu men¬capai derajat normal kehidupan. Orang–orang di sekelilingnya bahkan puplik secara luas juga akan ikut merasakan beban psikologis terse¬but. Situasi semakin buruk bila trauma bersifat masal.
Ancaman stress dan trauma yang hebat yang disebut post trauma stress disorder diper¬kirakan muncul dalam waktu tiga atau em¬pat bulan mendatang. Trauma, depresi dan perasaan hancur itulah yang telah dialami sejumlah korban banjir bandang khususnya yang tinggal di kamp pengungsian. Mereka telah kehilangan sahabat, kerabat, anak, sua¬mi, istri, orang tua, rumah, dan harta benda dalam waktu satu malam. Di Panti tak ada yang mengira takdir bekerja cepat, efektif dan efisien. Sebanyak 44 % pengungsi banjir bandang Jember ditengarai mengalami stress. Jika tidak segera ditangani akan mengalami psikotik atau kegilaan. Diperkirakan membu¬tuhkan waktu hingga enam bulan untuk bisa diperkirakan sembuh. Presentasi ini didapat dari hasil wawancara mendalam dengan 1.333 responden yang tersebar di delapan titik dari 17 sasaran pengungsian. (MAP Edisi Januari 2006:23)
Akibat bencana banjir bandang khusus¬nya yang terparah di Kecamatan Panti Kabu¬paten Jember ini memberi rasa trauma yang luar biasa pada seluruh penduduk yang ter¬timpa musibah. Anak anak yang kehilangan keluarganya dan mereka yang kehilangan seluruh harta bendanya ikut merasakan pa¬hitnya musibah ini. Hal ini juga yang menim¬
3233
pa sebagian siswa SMPN 2 Panti Kabupaten Jember. Kurang lebih 50 siswa mengalami musibah korban banjir bandang, ada di antara keluarganya yang meninggal dan sebagian lainnya kehilangan seluruh harta yang me-reka miliki.Untuk itu Kepala SMPN 2 Panti membentuk team penanggulangan bencana banjir bagi para siswanya yang mengalami musibah banjir.
Bantuan yang diupayakan oleh Tim Kor¬ban bencana masih berupa bantuan material yang diupayakan dari berbagai pihak dan in¬stansi baik berupa uang transport, seragam, beras, makanan, buku , alat belajar, tas dan sepatu serta keperluan lain yang mendesak bagi kebutuhan siswa dan sifatnya sementa¬ra. Padahal siswa yang mengalami musibah tersebut disamping membutuhkan bantuan material juga secara psikologis perlu menda¬patkan dorongan moril dan spiritual sebab mereka mengalami rasa trauma yang menda¬lam, khususnya bagi anak–anak yang diting¬gal mati orang tuanya dan anak-anak yang kehabisan seluruh harta bendanya. Mereka mengalami rasa kekhawatiran dan trauma terhadap kelangsungan hidupnya dan teru¬tama dalam belajar atau menuntut ilmu, khususnya bagi mereka yang masih hidup di tempat pengungsian. Hal inilah yang men¬dorong peneliti untuk bekerja sama dengan Tim penanggulangan bencana banjir bandang SMPN 2 Panti untuk membantu mengembali¬kan rasa percaya diri pasca bencana terhadap trauma yang mereka alami (siswa yang terke-na musibah banjir), dan selanjutnya mem¬berikan langkah-langkah solusi agar mereka dapat berperan kembali sebagaimana biasa-nya sehingga tetap tabah dalam menghadapi cobaan hidup khususnya terhadap semangat kelangsungan proses belajar mereka.
Untuk itu secara terperinci dapat diurai¬kan rumusan masalahnya sebagai berikut: 1) gejala–gejala trauma apakah yang mun¬cul dalam diri siswa yang terkena musibah banjir?; 2) bantuan psikologis apakah yang diperlukan siswa yang terkena musibah ban¬jir?; 3) langkah langkah solusi apakah yang dapat digunakan untuk mengembalikan Self Confident siswa yang terkena musibah ban¬jir?. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengungkapkan/mendi¬agnosa terhadap gejala-gejala yang muncul bagi siswa yang mengalami musibah pasca banjir bandang; 2) membantu memberikan dorongan psikologis terhadap siswa yang terkena musibah banjir; dan 3) membantu memberikan langkah-langkah solusi sebagai upaya mengembalikan “Self Confident” ter-hadap siswa yang mengalami musibah banjir khususnya yang mengalami trauma.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap: 1) siswa yang mengalami musibah banjir, terutama masalah psikologisnya dengan jalan men¬diagnosa gejala-gejala yang muncul pasca terjadinya banjir bandang; 2) membantu tu¬gas guru Bimbingan Konseling (BK) dalam menangani siswa yang mengalami trauma akibat musibah banjir bandang di SMPN 2 Panti; 3) membantu memberikan langkah–langkah solusi melalui berbagai pendekatan terhadap anak-anak atau siswa yang menga¬lami musibah agar mereka menemukan kem¬bali rasa percaya diri (Self Confident), sehingga dapat belajar kembali dengan normal seba¬gaimana mestinya; dan 4) mengembangkan pengetahuan dan pengalaman peneliti ter¬hadap penanganan dan bantuan siswa yang mengalami trauma, agar mereka kembali rasa percaya dirinya.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kua-litatif, dengan unit analisis pihak-pihak yang terkena musibah banjir. Melalui penelitian ini subjek penelitian diposisikan sebagai obyek atau prilaku yang diamati psikologisnya.
Mariyatul Qibtiyah, Upaya Mengembalikan “Self Confident” Siswa 34 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
Bogjan dan Biklen mengatakan mengatakan bahwa (1998: 3) penelitian kwalitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasil¬kan data diskriptif berupa kata-kata atau pernyataan lisan dari orangorang dan prilaku yang dapat diamati. Lebih lanjut, diungkap¬kan bahwa pendekatan ini diarahkan pada la¬tar individu secara holistik atau menyeluruh.
Penelitian ini lebih banyak mementing¬kan segi proses dari pada hasil. Proses yang dimaksud adalah melakukan langkah-lang¬kah yang perlu dilakukan terhadap siswa yang mengalami trauma mulai dari diagnosa dan penanganan siswa baik secara psikologis maupun spiritual (keagamaan). Data hasil pe-nelitian yang diperoleh selanjutnya dipapar¬kan sesuai dengan kejadian yang terjadi di lapangan dan dianalisis secara induktif. Oleh sebab itu, maka pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena memi¬liki ciri-ciri yang sesuai dengan penelitian kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di SMPN 2 Panti yang beralamat di Jalan Rajawali 108 Kemun¬ingsari Lor Kecamatan Panti Kabupaten Jem¬ber. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah semua siswa yang mengalami musibah banjir sebanyak 50 siswa, baik kelas VII, VIII dan klas IX, baik laki-laki maupun perem-puan. Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis. Di dalam penelitian ini populasi dibedakan atas populasi sampling dan populasi sasaran. 1) populasi sampling, populasi sampling pada penelitian ini adalah seluruh siswa SMPN 2 Panti (+50 siswa) yang terkena musibah banjir; 2) populasi sasaran, populasi sasaran adalah keseluruhan dari populasi yang telah dikenai syarat-syarat se¬suai dengan obyek penelitian yang dipilih, dan dalam penelitian ini populasi sasaran dikenai syarat-syarat sebagai berikut: a) hasil diagnosa siswa mengalami trauma; b) siswa tidak mau lagi belajar di sekolah (enggan/ malas); c) siswa kehilangan kepercayaan/ se¬mangat hidup, karena ditinggal keluarganya. Berdasarkan kriteria tersebut maka populasi sasaran yang ada sebanyak 6 responden.
Penelitian ini berupaya mengembalikan self confident untuk “siswa“ pasca musibah banjir bandang di Kecamatan Panti Kabupa-ten Jember. Data yang akan dikumpulkan da¬lam penelitian ini bersifat diskriptif. Rancan¬gan penelitian ini adalah penelitian tindakan partisipan. Hal ini karena peneliti berpartisi¬pasi langsung mulai awal sampai akhir. Da¬lam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrument utama, karena peneliti yang me¬rencanakan, melaksanakan, mengumpulkan dan membuat laporan penelitian. Rancangan penelitian ini diambil karena masalah yang diangkat terjadi dalam situasi nyata, yaitu terjadinya musibah banjir bandang yang mengakibatkan banyaknya korban dan rasa trauma yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan, kedua, masih belum ada pen¬anganan dan bantuan dibidang psikologis, khususnya bagi anak-anak yang mengalami trauma, sedangkan bantuan yang dikerahkan masih sebatas bantuan fisik seperti makanan, pakaian dan obat-obatan, ketiga perlunya segera melakukan upaya pengembalian Self Confident terhadap anak–anak terutama para siswa yang mengalami trauma agar dapat segera tertangani dan pulih kembali rasa per¬caya dirinya agar mereka dapat beraktivitas dan belajar kembali sebagaimana mestinya.
Sesuai dengan pendekatan dan rancang-an penelitian yang telah dikemukakan sebe¬lumnya, maka kehadiran peneliti mutlak diperlukan. Peneliti bertindak sebagai, peren-cana, observer dan pewawancara. Sedangkan Bu Prawita membantu konselor melakukan diagnosa, dan terapi. Pada penelitian ini, ka-mi juga dibantu oleh seorang tokoh terapi da-ri Orhiba (Bapak Drs. Harianto) yang banyak membantu memberikan terapi Orhiba pada siswa, dan K.H.Drs. Munif Rojak sebagai tokoh agama dan masyarakat yang banyak membantu dalam memberikan ceramah ro¬hani dan memimpin doa bersama. Kami juga 35
dibantu, oleh guru BK, guru agama dan tim penanganan banjir dari sekolah tersebut.
Prosedur pengumpulan data yang digu¬nakan pada penelitian ini yaitu: (1) pengamat-an; (2) catatan lapangan; (3) rekaman hasil wawancara; (4) hasil angket; dan dokumenta¬si. Pada penelitian ini data yang terkumpul di¬analisis dengan model alir (Flow model) Milles and Huberman (1992: 16) yang meliputi (1) mereduksi data; (2) menyajikan data; dan (3) menarik kesimpulan serta verifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas paparan data dan pembahasan, langkah-langkah kegiatan dalam upaya mengembalikan Self Confident, aktivitas kegiatan, analisa hasil kegiatan, te-muan–temuan penelitian, dan hambatan-hambatan dan rencana tindak lanjut.
Paparan Data dan Pembahasan
Sebelum penelitian ini dilaksanakan pe¬neliti mengadakan studi awal pada hari Kamis 7 Mei 2007. Peneliti mengadakan pertemuan dengan Kepala sekolah dan guru BK (Dra. Dewi Wardayah) serta bapak Drs. Moh Pagi ketua tim penanggulangan banjir di SMPN 2 Panti.
Ada beberapa hal penting yang perlu disepakati dalam menentukan persiapan pe¬nelitian yaitu: pertama adalah persiapan tim peneliti, pembagian tugas dan pembuatan jadwal (schedule), kedua adalah pendataan siswa yang mengalami musibah banjir, yang data nama-nama siswanya dapat dilihat pada (lampiran 1), ketiga adalah menentukan po-pulasi dan sampel penelitian, keempat adalah melakukan diagnosa awal untuk menentu¬kan siapa dan berapa siswa yang mengalami trauma.
Diagnosa awal dilakukan pada tanggal, 21 Mei 2007 yang diikuti oleh seluruh siswa yang mengalami musibah banjir. Pada pelak¬sanaan diagnosa awal, pengawasan dilaku¬kan oleh peneliti, dan dibantu guru agama dan BK setempat. Jika anak atau siswa me¬nyaksikan atau mengalami suatu peristiwa yang traumatis, alangkah bijaksananya kita mengukur tingkat kerusakan emosi yang te¬lah terjadi dan merangsang mekanisme pe-nanggulangan alaminya. Yang pertama da¬pat dilakukan adalah mengenali gejala-gejala yang dialami anak dengan menggunakan ge¬jala-gejala yang praktis seperti dalam tabel di bawah ini.
Gejala-gejala anak yang mengalami trau¬ma: 1) anak menunjukkan rasa takut atau cemas yang sebelum trauma tidak pernah ada, tanpa alasan yang jelas; 2) anak mengu¬cilkan diri dari banyak orang dan menunjuk¬kan tanda-tanda kehilangan kepercayaan; 3) anak menunjukkan rasa marah dan agresivi¬tas sampai ke tingkat yang belum pernah ter¬jadi sebelum trauma; 4) anak menunjukkan prilaku yang aneh atau tidak biasa, termasuk kontraksi yang tak disengaja, gagap atau kikuk; 5) Anak menunjukkan tanda-tanda depresi, misalnya sedih, lesu, mudah tersing¬gung, dan terlalu aktif (kadang-kadang anak yang depresi menunjukkan perilaku yang ber¬lawanan dengan yang dijumpai pada orang dewasa yang depresi); 6) anak mengungkap¬kan rasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri; 7) anak sering mengeluh sakit, misal¬nya sakit perut, sakit kepala, dan merasa nyeri yang tak jelas; 8) anak tiba-tiba tidak bermi¬nat bersekolah dan mengerjakan tugas-tugas sekolah; 9) anak menunjukkan perubahan da¬lam kebiasaan makan dan tidurnya; 10) anak cenderung merusak diri dan/atau mencelaka¬kan diri sendiri; dan 11) anak bersikap “ke¬kanak-kanakan” dan mengungkapkan hasrat diperlakukan seperti bayi. (2001 : 3005)
Cara-cara baru untuk mendiagnosa sebe¬lum mengobati anak-anak yang mengalami trauma dengan merangsang otak berfikir,
Mariyatul Qibtiyah, Upaya Mengembalikan “Self Confident” Siswa 36 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
menyiratkan bahwa kita dapat mengurangi efek jangka panjang trauma dengan langsung memberikan penanganan begitu peristiwa itu terjadi dan sekurang-kurangnya sampai be¬berapa minggu/bulan kemudian. Berikut ini adalah beberapa teknik yang diungkapkan oleh Laurence dan dapat diterapkan dengan mudah: 1) usahakan agar anak mau berbicara tentang peristiwa atau kejadian yang pernah terjadi. Sikap pendiam yang kadang-kadang teramati pada anak-anak yang mengalami trauma sesungguhnya sama dengan syok. Di balik permukaan air yang tampak tenang mungkin ada pergolakan emosi yang luar bia-sa. Membuat anak menceritakan pengalam-annya, perasaannya pada awalnya mungkin membuat mereka membuat mereka jengkel dan lebih marah, tetapi dalam jangka pan¬jang ini akan membantu mereka mengatasi dan mengurangi kemungkinan berkembang¬nya gejala-gejala yang berhubungan dengan trauma. 2) usahakan anak/siswa mengulangi pernyataan-pernyataan positif yang mem¬perkuat keyakinannya bahwa ia telah lolos dari trauma dan dapat mengatasi akibat-aki-batnya, misalnya: a) aku baik-baik saja dan tidak terpengaruh oleh (trauma). Aku bisa terus menikmati hidup meski telah menga¬lami (trauma); b) aku memperoleh dukungan dari orang-orang yang sayang padaku kapan saja aku perlu. 3) bantu anak menyadari tan¬da-tanda ketegangan dalam tubuhnya dengan melakukan “pemeriksaan tubuh“ setiap hari. Ajari ia memandang tubuh melalui pikiran dari kepala sampai kebawah, menyadari ke-tegangan di leher, pundak, lengan, pung¬gung dan kakinya. 4) dorong siswa untuk mempraktekkan teknik-teknik relaksasi ri-ngan, khususnya penting bila ia mengeluh merasa stres, tegang dan tidak enak badan, tetapi upaya ini juga penting untuk mengem-bangkan proses biokimia yang berhubungan dengan penyembuhan secara emosional. Latihan relaksasi setiap hari selama 15 hing¬ga 20 menit, dengan pengawasan orang de¬wasa, mungkin dapat dijadikan alternatif ter¬baik untuk meringankan masalah-masalah di masa mendatang.
Pada tanggal 30 Mei 2007 memberi ang¬ket awal tentang Self Confident siswa, un¬tuk mengetahui pengaruh psikologis antara sebelum dan sesudah pelaksanaan penan¬ganan korban banjir. Pada tanggal 4 Juni 2007 melakukan wawancara dan evaluasi dengan teman sejawat terhadap hasil diagnosa dan angket awal tentang Self Confident siswa, se¬bagai dasar untuk menentukan Sampel pe¬nelitian. Pada tanggal 6 Juni 2007 mengada¬kan proses identifikasi berdasarkan skor nilai dari hasil diagnosa dan angket awal seban¬yak 50 siswa diambil siswa yang mengalami trauma paling parah. Dari data diagnosa tersebut ternyata ada 6 siswa yang bernama (Ikatus Soleha, Mukti wibowo, Lailatul Mu¬nawaroh, Ainul Azizah, Riski ariadi, Iwan fir¬manto) yang mengalami trauma paling parah dan ditetapkan sebagai sampel penelitian.
Langkah-langkah Kegiatan dalam Upaya Mengembalikan Self Confident
Ada beberapa tahap yang dilakukan pada penelitian ini: 1) pertama: tahap ini ber¬tujuan membangkitkan kembali kepercayaan diri siswa yang diindikasikan dari keberanian siswa untuk tampil, mengemukakan pendap¬at dan terlibat dalam kegiatan kelompok atau kelas. Kegiatan ini melibatkan seluruh siswa yang mengalami musibah banjir, agar mer¬eka dapat melupakan kesedihan yang diala-minya, dengan berbagai kegiatan yang disa¬jikan; 2) kedua: pada tahapan ini bertujuan meningkatkan kesadaran untuk me-nerima dan dampak bencana. Tercapainya tujuan ini di indikasikan dari kegiatan dan kemampuan siswa untuk mengekspresikan dan memberi¬kan respon terhadap masalah yang dihadapi, kekhawatiran yang ditimbulkan bencana, serta harapan dalam berbagai bentuk. Siswa 37
juga dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya dan bekerja sama dalam kegiatan kelompok; 3) ketiga: pada tahapan ketiga ini bertujuan membangkitkan semang-at belajar siswa dengan cara membangun optimisme dan pengenalan potensi diri dan lingkungan disekitarnya. Tujuan ini dapat tercapai apabi¬la siswa mampu mengemukakan hal-hal yang membanggakan dari diri sendiri, mengemu-kaan hikmah dibalik bencana, harapan–hara¬pan dan cita-cita, serta bagaimana menca¬pai cita-cita dan penyelesaian masalah yang ada disekitar siswa. Selanjutnya diharapkan siswa telah mampu untuk mengikuti pelaja¬ran sekolah secara normal dan kembali ber¬gabung dengan teman-temannya dikelas masing-masing; 4) keempat: tahap ini ada¬lah tahap penyembuhan (pengembalian Self Confident), di mana anak–anak yang masih mengalami trauma ditangani secara khusus dan intensif sampai mereka diharapkan bisa hidup normal dan memiliki rasa percaya diri untuk dapat belajar kembali seperti sedia kala. Setelah keempat tahapan ini disusun secara matang, maka dilakukanlah aktivitas-aktivi¬tas kegiatan untuk mencapai berbagai tujuan mulai tahap satu hingga tahapan keempat .
Aktivitas Kegiatan
Aktivitas pertama: pada tahap ini ak¬tivitas pendidikan lebih difokuskan pada permainan dengan berbagai kegiatan. Pada tahap ini, tujuan dari aktivitas pendidikan adalah memberi kegiatan yang dapat menim-bulkan kesibukan, keasyikan dan hiburan bagi siswa agar mereka tidak hanya me¬mikirkan bencana yang telah terjadi. Aktivi¬tas dapat dilakukan melalui berbagai kegiat-an antara lain siswa melakukan kegiatan olah raga/senam, terapi, bernyanyi, mengaji Al Qur’an, membaca puisi, menggambar/menulis dan permainan dalam bentuk brain gym (olah raga otak). Materi yang diberikan berupa pentingnya nilai kerja sama, pemaha¬man keagmaan, pentingnya kesehatan, peng-ungkapan perasaan dan permainan otak.
Aktivitas kedua: pada tahap ini adalah tahap penyadaran dimana anak-anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan peng-alamannya, mengekspresikan ketakutan, ke- khawatiran dan harapan–harapannya. Biar¬kan anakanak memahami betul bahwa rasa marah, sedih atau ketakutan itu akan mem¬bantu membuatnya merasa lebih baik. Fasili¬tator dalam hal ini bisa berbagi perasaan kepa¬da mereka, dan memberikan siraman rohani. Kegiatan ini diawali dengan sholat Duha di¬lanjutkan dengan ceramah dan dilanjutkan de-ngan dialog dan pengungkapan perasaan dan pengalamannya masing-masing ketika ban¬jir, setelah itu diberikan sentuhan-sentuhan tombo ati, oleh masing-masing nara sumber.
Aktivitas ketiga: aktivitas pada tahap ini telah meningkat pada kegiatan–kegiatan yang
Mariyatul Qibtiyah, Upaya Mengembalikan “Self Confident” Siswa
Tabel 1 Enam Siswa yang Skor Awalnya Tinggi
NoNamaSkor AwalSkor Akhir1Riski Ariyadi96,7502Iwan Firmanto93,3503Ainul Azizah96,746,674Ikatus Solehah93,3505Lailatul Munawaroh96,7506Bayu Prasetyo93,350Jumlah570,0296,67Rata-rata95,049,4538 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
membangkitkan semangat dan membangun optimesme seperti: mengungkapkan pengala¬man dalam menyelamatkan diri dari bencana, pengalaman tradisional nenek moyang dalam menghadapai proses alam, mengungkapkan hikmah dari bencana baik terhadap kehidu¬pan manusia maupun lingkungan disekitar, dan menanggulangi masalah yang dihadapi.
Aktivitas keempat: pada tahap ini ak¬tivitas yang dilakukan adalah secara go¬tong royong teman-teman yang kondisi mentalnya sudah membaik membantu ter¬hadap siswa yang mengalami trauma den-gan kegiatan–kegiatan menyenangkan. Di samping itu peneliti juga menyediakan terapi khusus untuk membantu memulih¬kan kondisi psikologisnya, serta mengenal¬kan pembelajaran model Quantum. Adapun jadwal kegiatannya adalah sebagai berikut:
Analisa Hasil Kegiatan
Tes Diagnosa
Dari hasil skor angket diagnosa awal tentang trauma siswa secara keseluruhan diperoleh skor rata-rata 87.20 yang bera¬da dalam standart tinggi. Ini artinya ham¬pir semua siswa yang mengalami musibah banjir mengalami trauma, tetapi dianta-ra mereka itu ada 6 siswa yang mengala-mi trauma sangat parah yang nilai/skor awalnya sangat tinggi mereka itu adalah :
Keenam siswa itu ternyata kehilangan orang tua atau anggota keluarga dan tempat tinggalnya dengan scor rata-rata 95. Setelah dilakukan berbagai kegiatan sedikit demi sedikit trauma keenam siswa menurun hingga mencapai nilai rata-rata 49.45, sedangkan nilai diagnosa akhir untuk semua siswa rata-rata 43.20 yang berada dalam standart rendah. Hal ini berarti ada kemajuan yang pesat terhadap perkembangan kejiwaan siswa dari trauma yang dialaminya untuk kembali normal sep¬erti sebelumnya termasuk juga pada keenam siswa yang mengalami trauma sangat berat.
Hasil Angket Self Confident
Setelah dilakukan berbagai kegiatan se¬bagaimana program yang telah dicanang¬kan, kemudian peneliti ingin mengetahui kemajuan self Confident siswa dengan mem¬beri angket. Angket self confident ini hanya diberikan diakhir kegiatan, karena di awal kegiatan seluruh korban hanya cenderung murung dan sering menyendiri, bahkan eng¬gan diajak komunikasi atau diajak berfikir. Sehingga alangkah baiknya menurut peneliti untuk memberi angket diakhir kegiatan dan penanganan. Dari hasil penyebaran angket didapatkan data skor rata–rata seluruh siswa terkena banjir 85.17 yang menunjukkan da¬lam katagori baik, sedangkan untuk keenam siswa yang mengalami trauma parah ting¬kat Self Confidentnya hanya mencapai skor 79, yang menunjukkan pada katagori Cukup baik. Untuk masing-masing individu dapat dilihat pada tabel 2.
Hal ini berarti ada kemajuan terhadap rasa percaya dirinya karena sebelumnya su¬dah dapat diamati dan di diagnosa setelah terjadinya banjir bandang keenam siswa tersebut mengalami trauma berat dan kehi¬langan self confidentnya .
Tabel 2 Hasil Angket Self Confident Siswa
NoNamaSkor1 Riski Ariyadi752 Iwan Firmanto77,53 Ainul Azizah77,54 Ikatus Solehah78,55 Lailatul Munawaroh87,56 Bayu Prasetyo77,5 Jumlah474 Rata-rata7939
Hasil Wawancara
Dari hasil wawancara terhadap siswa yang mengalami trauma mereka mayoritas pendapatnya sama, ada ketakutan dan kekha¬watiran yang mendalam tentang kehidupan
Mariyatul Qibtiyah, Upaya Mengembalikan “Self Confident” Siswa
Tabel 3 Hasil Observasi Terhadap Self Confident Siswa
IndikatorPengamatSkorYaTdk1. Setelah kegiatan siswa mulai lancar bila bercakap-cakap dengan orang lain 1√2. Siswa kelihatan senang, bisa belajar kembali bersama teman-teman 1√3. Siswa mulai mengerjakan hal-hal yang baru1√4. Siswa mempunyai tujuan yang jelas dalam hidupnya1√5. Siswa lebih percaya diri dalam menghadapi musalah1√6. Siswa mulai berkurang dari rasa ketakutan1√7. Siswa sudah mampu mengontrol diri saat kondisi sulit1√8. Siswa sudah tidak gugup lagi bila bertemu dengan banyak orang.1√9. Siswa kelihatan ekspresi wajahnya mulai cerah1√10 Siswa mulai bisa berkonsentrasi saat belajar1√11. Siswa kelihatan tampak mulai tampil tenang dalam berbagai kegiatan1√12. Siswa tampak antusias da-lam segala kegiatan.1√13. Siswa sudah dapat mengerjakan tugas dengan baik1√14. Siswa merasa senang mengikuti terapi yang disajikan1√15. Siswa kelihatan khusuk mendengarkan siraman rohani dan doa bersama 1√16. Siswa lebih kuat menghadapi berbagai masalah1√17. Siswa kelihatan lebih bugar setelah mengikuti relaksasi1√18. Siswa dapat belajar menyelesaikan masalahnya dengan saling bergotong royong1√19. Siswa merasa bangga dengan hasil kerja keras bersama1√20. Siswa lebih percaya diri belajar bersama teman -teman1√
Sumber Adaptasi : Hibbart, KM (1995 : 19)40 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
dan keberlangsungan pendidikan dimasa depan, akan tetapi dengan diupayakan pen¬anganan dengan berbagai kegiatan, mereka mulai tumbuh kembali rasa percaya dirinya dan mau belajar lagi dengan teman-temannya di sekolah.
Hasil Observasi
Dalam tahap ini observasi kegiatan di¬lakukan oleh peneliti adalah observasi ter¬hadap Self Confident siswa selama ke-giatan. Hasil observasi terhadap self confident siswa korban banjir selama ke-giatan berlangsung :
Skor perolehan
Nilai = X 100
Skor Maksimum
Kreteria taraf keberhasilan tindakan ditentu¬kan sebagai berikut.
Berdasarkan hasil observasi terhadap self Confident siswa selama kegiatan pada tabel-2 di atas, jumlah skor yang diperoleh adalah 18 dan skor maksimalnya 20 Dengan demiki¬an presentasi skornya adalah 90%. Hal ini menunjukkan bahwa taraf self Confident siswa setelah kegiatan berdasarkan hasil observasi peneliti berada dalam katagori baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan sudah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, meskipun masih perlu upaya peningkatan untuk men¬capai katagori sangat baik.
Berdasarkan hasil observasi, wawan¬cara, angket dan catatan selama dilapangan ditemukan hal-hal sebagai verikut : 1) mendi¬aknosa trauma siswa adalah merupakan lang¬kah awal yang amat vital untuk menentukan langkah-langkah dalam menangani masalah trauma; 2) siswa yang mengalami musibah banjir, mereka merasa trauma, ketakutan dan enggan untuk melakukan aktivitas-aktivitas sebagaimana biasa. Untuk itu dengan kegi-atan penelitian ini siswa merasa sangat ter¬motivasi untuk ikut kegiatan yang sifatnya penyegaran dan penyembuhan mental, seh¬ingga mereka sedikit demi sedikit dapat me-nemukan kembali rasa percaya dirinya (self confident); 2) siswa yang ditinggal mati kelu¬arganya, serta kehilangan harta benda mere-ka mengalami trauma yang lebih parah, dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mau versosialisasi, dan lebih senang me- nyendiri. Dan masalah ini yang lebih menda-pat perhatian peneliti secara serius; 3) siswa yang tidak kehilangan anggota keluarga tapi kehilangan harta benda cenderung lebih aktif versosialisasi dan mereka menaruh harapan besar untuk dapat melanjutkan sekolah lagi; 4) siswa yang mengalami trauma parah sete-lah mendapat terapi khusus, rasa percaya di¬rinya bertambah baik, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama dan perlu ketelat¬enan dan keuletan dalam penanganannya; 5) siswa yang kehilangan rumah dan kesulitan transportasi terutama siswa yang kehilang-an keluarganya, diusahakan penampungan di pondok pesantren atau rumah kos, yang dekat sekolah sehingga dapat membantu proses penyembuhan. Dan ternyata mereka merasa senang dan terharu.
Hambatan dalam penelitian ini adalah: a) siswa yang mengalami trauma itu sangat sulit untuk diajak komunikasi, sehingga tar¬jet kegiatan yang seharusnya selesai akhirnya terbengkalai; b) sulitnya medan dan jauhnya tempat tinggal siswa juga memerlukan waktu yang cukup lama dan membutuhkan sarana transportasi yang memadai sehingga tidak mudah dijangkau; c) rendahnya kesadaran
91 % < Pn < 100% : Sangat Baik81 % < Pn < 90% : Baik 71 % < Pn < 80% : Cukup61 % < Pn < 70% : Kurang 0 % < Pn < 60% : Sangat kurang
Gambar 1 Kriteria Taraf Keberhasilan
Tindakan41
orang tua akan keberlangsungan dan masa depan pendidikan anak-anaknya, sehingga dengan penanganan trauma ini dianggap¬nya kurang dibutuhkan atau diabaikan, bah¬kan banyak orang tua yang menganjurkan anaknya berhenti sekolah.
Rencana tindak lanjut penelitian ini ada¬lah: a) bersama guru BK untuk terus melaku¬kan komunikasi intensif untuk membantu memberikan masukan, arahan dan motivasi agar mereka terus mau berupaya menyelesai¬kan studi; b) mereka yang sering membolos dan mau berhenti terus dilakukan home visit untuk memberikan kesadaran baik kepada siswa maupun pihak orang tua; dan c) perlu pemantauan bagi mereka yang mengalami trauma berat selama proses penyembuhan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini adalah: 1) un¬tuk mengembalikan Self Confident siswa dari trauma akibat banjir bandang sangat mem¬butuhkan penanganan serius sehingga perlu dilakukan berbagai kegiatan untuk mengem¬balikan stabilitas emosionalnya khususnya rasa kepercayaan dirinya sehingga mereka dapat kembali belajar sebagaimana sebel¬umnya; 2) dari hasil diagnosa awal dapat di¬simpulkan bahwa seluruh siswa yang terke¬na musibah banjir merasa trauma sehingga dengan penanganan secara mental spiritual dapat membantu mengembalikan Self Con¬fidentnya, walaupun perlu waktu dan keule¬tan serta penanganan yang serius untuk bisa membantu memulihkan sebagaimana kon¬disi sebelumnya. Dari hasil diagnosa akhir kondisi trauma menurun dari trauma yang tinggi (nilai rata-rata 87.20 menurun menjadi 43.20). Sedangkan keenam siswa yang meng-alami trauma berat nilai skor rata- rata awal dari 95 menurun menjadi skor 49,45 setelah dilakukan tes diagnosa akhir; dan 3) dari ha¬sil pengamatan setelah kegiatan penanganan menunjukkan adanya kemajuan tingkat Self Confident siswa dengan hasil observasi 90% dengan kreteria baik, demikian juga dari ha¬sil wawancara dan catatan lapangan menun-jukkan kemajuan terhadap rasa percaya diri siswa dari kondisi sebelumnya. Sehingga di¬harapkan dari hasil penelitian ini siswa dapat sembuh dari trauma dan dapat kembali bela¬jar seperti sedia kala.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai beri¬kut: 1) siswa yang terkena musibah banjir diharapkan untuk lebih sabar dan tabah da¬lam menghadapi musibah ini, sebagai ujian yang harus diterima serta disarankan untuk terus bisa melanjutkan studi sampai selesai; 2) bagi guru-guru khususnya guru BK, untuk senantiasa memberi motivasi dan perhatian yang kontinyu terhadap siswa yang terkena musibah banjir, khususnya bagi mereka yang mengalami trauma agar mereka dapat menin¬gkatkan rasa percaya diri (Self Confident) nya; dan 3) kepada pengambil keputusan (Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan) untuk lebih memperhatikan keberlangsungan pendidik-an siswa agar bisa melanjutkan studinya sam¬pai selesai.
Mariyatul Qibtiyah, Upaya Mengembalikan “Self Confident” Siswa
DAFTAR RUJUKAN
Arifin, Z. E. 1991. Penulisan Karangan Ilmiyah dengan Bahasa Indosesia Yang Benar. Ja¬karta: Mediatama Sarana Prakasa.
Berita Mingguan “Dor” Edisi 115 : Tahun IV. 42 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010

09 – 15 Januari 2006
Buletin DPRD Kabupaten Jember: “Media Aspirasi Publik (MAP)”, Edisi: Januari 2006.
Lawrence E. S. 2001. Mengajarkan Emotional Intelegence Pada Anak. Jakarta: PT Gra-media Pustaka Utama.
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia Jakarta.
Moleong, L.J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda-karya
Philippa, D. 2004. Meningkatkan Rasa Percaya Diri. Yogyakarta: PT Torren Books.
Poerwodarminto, WJS. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusta¬ka.
Putra, W.N dan Wasis, K. 2006. Belajar Dari Alam” Tetesan Air Mata Saat Bencana Me-landa Kota Santri. Jember: Institut of Civil Society (ICS).
Sheenah, H. 2005. Strategi Untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kuali-tatif. Bandung: Alfabeta
Suyanto. 1998. Pedoman Pelaksanaan Tindakan Kelas (PTK). Dirjen Dikti Depdikbud. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik: IKIP Yogyakarta.
Syamsu, Y. 2001. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Remaja Rosda-karya.
Utoyo, I. 1999. Strategi Mengatasi Kegagalan & Pengelolaan Stress Hidup. Jurnal Teknolo¬gi Pembelajaran Tahun VII No 1: IKIP Malang.
Zuriah, N. 2003. Penelitian Tindakan ( Dalam Bidang Pendidikan dan Sosial). Malang: Bayu Media Publising. 43

Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
dengan Strategi Kooperatif STAD pada Mata Pelajaran Sains untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Siswa Kelas V MI Jenderal Sudirman Malang
Susriyati Mahanal
Siti Zubaidah
Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No 5 Malang, Telp. 081334435234
Abstract: Learning process in each level of education should be oriented towards students’ thinking capabilities. However, it isgenerally surmised that in science education, thinking capa¬bility is never managed with direct and purposeful planning. One of the learning models which is oriented towards critical thinking ability of students is problem-based learning (PBL). Based on the result of observation and interview with the teachers and headmasters, several problems were found, among others: (1) the questions posed by the students are still based on mnemonic aspect, (2) the responses provided by the students are often irrelevant with the substance of learning, (3) from the students’ work on job sheet (LKS), it was found that the students still have difficulty in formulating problems and hypotheses and drawing conclusions. This shows that the thinking ability of the students is still poor, so that it needs improvement or develop¬ment in a purposeful and planned manner. The research design was the class action research design, consisting of two cycles. This research aims to: (1) determine the improvement of think¬ing ability among fifth grade students in M.I. Jendral Sudirman (MIJS) Malang, through the implementation of problem-based learning with STAD model of cooperative strategy for science class, (2) determine the learning outcome of fifth grade students of MIJS Malang through the implementation of problem-based learning with STAD model of cooperative strategy for science class. With the findings of the research implemented in two cycles, it can be concluded that: (1) the implementation of problem-based learning with STAD model of cooperative strategy for sci¬ence class can improve the thinking ability of the fifth grade students in MIJS Malang, (2) the implementation of problem-based learning with STAD model of coopeartive strategy for science class can improve the learning outcome of the fifth grade students of MIJS Malang.
Kata kunci: pembelajaran berbasis masalah, masalah, kemampuan berpikir
Proses pembelajaran setiap jenjang pendidikan seharusnya menitik beratkan pada pengem¬bangan berpikir kritis siswa. Namun Corebima (2001) menengarai bahwa secara umum pembel-ajaran IPA, penalaran tidak pernah dikelola se¬cara langsung terencana atau sengaja. Padahal seharusnya pemberdayaan berpikir kritis yang terkait dengan pembelajaran sains dilakukan sejak dini secara rutin dan dilaksanakan sebagai bagian yang utuh dalam pembelajaran. Melalui upaya yang rutin dan berkesinambungan itulah akan berkembang kemampuan berpikir kritis siswa.
Melalui penelitian yang pernah dilakukan oleh Mahanal dan Sunarmi, didukung dengan observasi dan wawancara dengan guru serta kepala sekolah ditemukan permasalahan-per¬masalahan antara lain: 1) pertanyaan yang dia¬jukan siswa masih pada tingkat kognitif rendah (aspek ingatan); 2) jawaban yang dikemukakan
4344 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
siswa seringkali tidak relevan dengan substansi pembelajaran; 3) dari pekerjaan siswa pada lem¬bar kerja (LKS) diketahui bahwa siswa menga¬lami kesulitan dalam merumuskan masalah, menyusun hipotesa serta menarik kesimpulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan atau dikembangkan secara sengaja dan terencana.
Corebima (1999) menemukan cara yang dapat digunakan untuk membantu member¬dayakan kemampuan berpikir kritis siswa yang dikenal dengan pola PBMP (Pemberdayaan Berpikir kritis Melalui Pertanyaan) atau TEQ (Thinking Empowerment by Questioning). Pembe¬lajaran dengan pola PBMP ini telah dicobakan pada tingkat SLTP, yaitu pada pembelajaran biologi di SMPN 2 Malang melalui PTK tiga siklus. Hasil penelitian tersebut memperlihat¬kan adanya peningkatan penalaran pada siswa (Sutikno, dalam Zubaidah, 2001). PBMP ini juga diterapkan di kelas IV MIJS Malang pada matapelajaran IPA melalui PTK dua siklus. Ha¬sil penelitian tersebut memperlihatkan adanya peningkatan perkembangan penalaran dan ha¬sil belajar pada siswa (Zubaidah, 2005). PBMP ini juga diterapkan di perguruan tinggi oleh Su¬narmi (2001, 2002), yang menunjukkan bahwa PBMP dapat meingkatkan kemampuan penal¬aran formal.
Alternatif lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kri¬tis siswa melalui model pembelajaran yang berbasis pendekatan konstruktivisme. Dalam pembelajaran konstruktivis pengetahuan akan dibangun sendiri oleh siswa secara aktif mela¬lui perkembangan proses mentalnya (Leinhart 1992). Konstruktivisme juga berisi pengajaran yang menekankan pada proses (Sushkin, 2001).
Menurut Wahidin (1996) ada beberapa ke¬untungan yang diperoleh dari pembelajaran yang menekankan pada proses keterampilan berpikir kritis, yaitu 1) belajar lebih ekonomis, yakni bahwa apa yang diperoleh dari pengajar-annya akan tahan lama dalam pikiran siswa; 2) cenderung menambah semangat belajar, gairah (antusias) baik pada guru maupun pada siswa; 3) diharapkan siswa dapat memiliki sikap ilmi¬ah; 4) siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah baik pada saat proses belajar mengajar di kelas maupun dalam menghadapi permasa-lahan nyata yang akan dialaminya.
Salah satu model pembelajaran yang meng¬arah pada kemampuan berpikir kritis siswa ada¬lah pembelajaran berdasarkan masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL). Pembelajaran berdasarkan masalah dapat memotivasi siswa untuk melakukan investigasi dan pemecahan masalah pada situasi kehidupan nyata serta merangsang siswa untuk menghasilkan sebuah produk / karya.
PBM dikembangkan untuk membantu sis-wa mengembangkan kemampuan berpikir kri¬tis, memecahkan masalah, dan keterampilan intelektual. PBM dapat mengembangkan kete-rampilan berpikir kritis dan analisis serta meng¬hadapkan siswa pada latihan untuk memecah¬kan masalah (Hastings, 2001, dalam Arnyana, 2004).
Menurut Arnyana (2004) PBM memiliki ciri-ciri yaitu: 1) mengajukan pertanyaan atau ma-salah; 2) berfokus pada keterkaitan antar disi¬plin; 3) penyelidikan autentik; 4) menghasilkan produk/karya dan memamerkan karyanya; dan 5) Kerja kelompok.
Terkait dengan salah satu ciri PBM yaitu ker¬ja kelompok, maka dalam penerapannya PBM menggunakan strategi kooperatif. Salah satu unsur strategi kooperatif adalah saling keter¬gantungan antar individu. Setiap individu me¬merlukan individu lain dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Hill dan Hill dalam Arnyana (2004) mengemukakan bahwa setiap individu dalam mengembangkan kemampuan kognitif¬nya berkolaborasi dengan individu lain dalam lingkungan belajarnya. Slavin (1997) menge¬mukakan bahwa perkembangan kognitif anak sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya interaksi sosial pada anak tersebut.
Pembelajaran kooperatif Student Teams 45
Achievement Division (STAD) adalah pembel- ajaran yang dilakukan secara berkelompok da¬lam memecahkan masalah, dimana anggota ke-lompok tersebut saling membantu dan bekerja sama. Kelompok-kelompok tersebut mempu¬nyai anggota yang heterogen baik ras, agama, suku, dan kemampuan akademik (Nurhadi dan Senduk, 2004). Model STAD dipandang pal¬ing sederhana dari pembelajaran kooperatif se-hingga mudah diterapkan dalam pembelajaran berdasarkan masalah. Melalui pembelajaran kooperatif model STAD dengan anggota kel¬ompok yang heterogen memungkinkan siswa untuk saling bertukar pikiran, bekerja sama da¬lam memecahkan masalah yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Peran PBM dalam membantu siswa me-ngembangkan kemampuan berpikir kritis atau memecahkan masalah telah dibuktikan oleh be¬berapa peneliti. Timurrini (2000) membuktikan bahwa penerapan PBM pada mata pelajaran kimia dapat meningkatkan hasil belajar kimia pada siswa SMUN II Surabaya. Silaban (1999) membuktikan efektifitas PBM pada mata pel-ajaran fisika yang materinya memerlukan pe¬nyelidikan.
Keefektifan pembelajaran berdasarkan ma-salah dengan strategi kooperatif STAD telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, di antaranya adalah Arnyana (2004) telah mene-rapkan PBM yang dipandu dengan strategi ko¬operatif pada mata pelajaran biologi di SMA melalui pengembangan. Hasil penelitian terse¬but memberikan kesimpulan bahwa penerapan PBM yang dipandu dengan strategi kooperatif memperlihatkan adanya peningkatan kemam¬puan berpkir pada siswa. Arafah (2005) mene-mukan bahwa penerapan pembelajaran ber¬dasarkan masalah melalui strategi kooperatif STAD dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Sedangkan implementasi pene-rapan PBM dengan strategi kooperatif STAD di SD/MI masih perlu dikaji lebih lanjut.
Berdasarkan kelebihan-kelebihan tentang PBM dan kooperatif model STAD yang telah dipaparkan, maka permasalahan permasalahan yang terdapat di MIJS Malang seperti yang te¬lah disebutkan akan dicoba diatasi dengan tin¬dakan pada penelitian tindakan kelas dengan menerapkan PBM dengan strategi kooperatif model STAD. Lebih lanjut penelitian tindakan kelas ini bertujuan: 1) apakah penerapan pem¬belajaran berdasarkan masalah dengan strategi kooperatif model STAD pada mata pelajaran Sains dapat meningkatkan kemampuan berpikir
Susriyati Mahanal, Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Gambar 1 Alur Pelaksanaan Tindakan dalam Penelitian Tindakan Kelas46 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
kritis siswa kelas V MIJS Malang?, 2) apakah penerapan pembelajaran berdasarkan masalah dengan strategi kooperatif model STAD pada mata pelajaran sains dapat meningkatkan ha¬sil belajar siswa kelas V MIJS Malang? Apabila PBM ini berhasil dengan baik, maka hal ini akan sangat membantu pembelajaran sains di masa yang akan datang
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan pe¬nelitian tindakan kelas (PTK), yaitu merupa¬kan rangkaian penelitian tindakan yang dilaku¬kan secara siklik dalam rangka memecahkan masalah sampai masalah itu terpecahkan. PTK bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digene-ralisasi.
Rancangan penelitian ini mengacu kepada model Kemmis dan Taggart (1988) dalam Kas¬bolah (1999) yang terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan (ob¬servasi), dan refleksi. Refleksi terhadap pem¬berian tindakan pada siklus I dijadikan acuan dalam merencanakan tindakan pada siklus II. Diagram alur rancangan penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. Subjek penelitian adalah siswa kelas V MIJS Malang yang berjumlah 35 siswa. Penelitian dilakukan di MI Jendral Sudirman Malang Jl. Sukarno Hata 12 Malang. Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa: a) skor kemampuan berpikir kritis melalui tes yang diperoleh dari skor tes essai yang diskor tanpa rubrik dan dengan rubrik; b) hasil observasi tentang kemampuan ber¬pikir kritis melalui keterampilan bertanya dan menjawab selama proses pembelajaran dan presentasi laporan; dan c) catatan lapangan yang berkaitan aktivitas siswa selama proses pembelajaran.
Pengecekan keabsahan data dalam pe¬nelitian ini menggunakan teknik triangulasi, yaitu memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pem¬banding terhadap data tersebut. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi metode, yaitu membandingkan data yang terkumpul baik melalui tes, obser¬vasi, maupun catatan lapangan tentang hasil kegiatan siswa. Interpretasi/penafsiran data dilakukan melalui diskusi dengan guru dan teman sejawat.
Analisis data dilakukan setiap kali pem¬berian tindakan berakhir. Data penelitian yang terkumpul yang berupa data kuali¬tatif yaitu hasil observasi dan catatan lapan¬gan dianalisis kualitatif model alir (flow). Model ini terdiri dari tiga komponen di¬lakukan secara berurutan yaitu kegiatan reduksi data, sajian data, dan penarikan ke-simpulan/verifikasi. Analisis seperti in ber¬langsung selama peneliti berada di lokasi penelitian hingga akhir pengumpulan data.
Hasil Belajar
Skor rata-rata hasil belajar merupakan skor tes formatif I dan II yang diadakan setiap akhir siklus. Hasil belajar ini diperoleh mela¬lui penyekoran tes tanpa rubrik. Skor maksi¬mal yang diperoleh siswa setiap mengikuti tes adalah 100. Skor rata-rata tes formatif klasikal dapat dihitung dengan rumus berikut.
Dimana
Hb = Skor rata-rata hasil belajar klasikal
Σ Sn = jumlah perolehan skor seluruh siswa
N = jumlah siswa
Σ Sn
Hb = --------
N47

Kemampuan Berpikir Kritis
Melalui Tes
Corebima (2005) menyatakan bahwa tiap tes mata pelajaran, skor yang diperoleh siswa seyogyanya merupakan gabungan antara ha¬sil belajar kognitif (kebenaran konseptual) dan kemampuan berpikir kritis. Dengan demiki¬an kemampuan berpikir kritis dapat dihitung dengan rumus berikut (Corebima, 2005).
Y1 = Skor gabungan hasil belajar kognitif
lazim dan kemampuan dari
skoring dengan rubrik.
Y2 = Skor dari hasil belajar kognitif lazim
diperoleh dari skoring tanpa rubrik.
X = Skor kemampuan berpikir kritis
Melalui non tes
Kemampuan berpikir kritis non tes di-identifikasi pada saat berlangsungnya proses pembelajaran yang ditunjukkan oleh kete-rampilan bertanya dan menjawab pertanya-
Susriyati Mahanal, Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
2 Y1 = X + Y2
Tabel 1 Skor Kemampuan Berpikir Kritis melalui Tes dan Hasil Belajar Siswa pada Siklus I dan IIAspek amatanSiklus ISiklus IIPeningkatan Skor% Peningkatan SkorKemampuan Berpikir kritis53,270,9416,9431,84Hasil Belajar68,4580,0511,616,94
Tabel 2 Skor Keterampilan Siswa Bertanya pada Siklus I dan II
Kategori Pertanyaan*Siklus ISiklus IIFrekuensi%Frekuensi%159,250021731,48521,7331222,2834,784916,6521,751120,3521,7Jumlah5410023100
Tabel 3 Skor Keterampilan Siswa Menjawab Pertanyaan pada Siklus I dan II
Kategori Pertanyaan*Siklus ISiklus IIFrekuensi%Frekuensi%159,2514,322240,7730,4331018,51626,0841222,2626,08559,25313,4Jumlah541002310048 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
an. Keterampilan siswa dalam bertanya dan menjawab pertanyaan secara kualitatif mau¬pun kuantitatif diperoleh dengan mengguna¬kan lembar observasi dan rubrik.
HASIL
Kemampuan berpikir kritis melalui tes dan hasil belajar siswa mengalami pening¬katan dari siklus I ke siklus II, seperti tertera pada Tabel 1
Data kemampuan berpikir kritis non tes yaitu keterampilan bertanya pada siklus I dan II tertera pada Tabel 2, sementara itu data ke-terampilan menjawab pertanyaan pada waktu presentasi (diskusi kelas) tertera pada Tabel 3.
PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil tes essai siswa kelas V-a MIJS Malang baik yang diskor tanpa ru¬brik maupun dengan rubrik dari siklus I dan siklus II mengalami fluktuasi dalam arti ada siswa yang mengalami peningkatan tetapi ada juga siswa yang mengalami penurunan skor. Namun hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan skor kemampuan berpikir kri¬tis siswa melalui tes dari siklus I ke siklus II sebesar 16,94 atau sebesar 31,84% seperti yang tertera pada Tabel 1. Jawaban tes tulis essai dalam penelitian ini diskor dengan meng¬gunakan rubrik yang dikembangkan oleh Corebima dan sudah digunakan oleh Has¬ruddin (2004) dalam penelitian desertasinya. Rubrik skoring tersebut digunakan untuk mengukur hasil belajar kognitif lazim mau¬pun kemampuan berpikir kritis. Deskripsi ru¬brik skoring tes tulis essai tersebut mencakup kebenaran konseptual jawaban serta kemam¬puan menggunakan tata bahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa inilah yang diguna¬kan sebagai indikator kemampuan berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan pendapat Rapar dalam Corebima (2004) yang menyatakan bahwa bahasa adalah tanda untuk mengung¬kap pikiran.
Peningkatan skor kemampuan berpikir kritis disebabkan penerapan pembelajaran berdasarkan masalah dengan strategi koope-ratif model STAD. Temuan penelitian ini sesuai yang dikemukakan oleh Arends (2004) bahwa PBM membantu siswa mengembangkan ke¬mampuan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah serta melatih siswa menjadi pebelajar yang mandiri. Hal senada dikemukakan oleh Hastings (Arnyana, 2004) bahwa belajar berdasarkan masalah aktual dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analisis. Duch; Allen; dan White dalam Arnyana (2004) mengemukkan bah¬wa belajar berdasarkan masalah menyedia- kan kondisi untuk meningkatkan kete-rampilan berpikir kritis dan analitis serta memecahkan masalah kompleks dari kehi-dupan nyata. Selanjutnya dikemukakan pem-belajaran yang dapat meningkatkan kemam¬puan berpikir kritis yaitu belajar berdasarkan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Jones, Bloom, dan Herreid dalam Susilo (2006) menyatakan bahwa da¬lam belajar berdasarkan masalah diharap¬kan siswa berkolaborasi dalam memecah¬kan masalah untuk menemukan solusi atas masalah yang dihadapi. Proses belajar ber-dasarkan masalah sebaiknya dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil dan guru berperan sebagai fasilitator.
Proses belajar melalui strategi kooperatif STAD ditandai dengan siswa saling memo¬tivasi, saling membantu satu sama lain da¬lam menguasai materi pembelajaran, siswa juga berkolaborasi dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Melalui pembel-ajaran kooperatif model STAD dengan ang¬gota kelompok yang heterogen memung¬kinkan siswa untuk saling bertukar pikiran, bekerja sama dalam memecahkan masalah 49

yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dengan demikian penerapan strategi ko-operatif STAD juga membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Penerapan PBM dengan strategi koope-ratif model STAD terbukti dapat mening¬katkan kemampuan berpikir kritis siswa ke-las V-a MIJS Malang. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson dan Johnson (1991) bahwa PBM penting dipadukan dengan strategi ko¬operatif karena strategi ini dapat memacu ke-mampuan berpikir kritis siswa. Selanjutnya dikemukakan bahwa PBM dan strategi ko¬operatif dapat meningkatkan kecakapan ber¬pikir kritis. Temuan penelitian ini juga didu¬kung oleh hasil penelitian Arnyana (2004) yang telah menerapkan PBM yang dipandu dengan strategi kooperatif STAD pada mata pelajaran biologi di SMA melalui penelitian pengembangan. Hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa penerapan PBM yang dipandu dengan strategi koopera-tif memperlihatkan adanya peningkatan ke¬mampuan berpikir kritis pada siswa. Arafah (2005) menemukan bahwa penerapan pembe¬lajaran berdasarkan masalah melalui strategi kooperatif STAD dapat meningkatkan aktivi¬tas dan hasil belajar siswa.
Keterampilan bertanya siswa kelas Va MIJS Malang yang diskor dengan rubrik dari siklus I ke siklus II menunjukkan adanya peningkatan persentase untuk kategori yang tinggi (katageri 4 dan 5) seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas pertanyaan. Peningkat-an kualitas pertanyaan yang diajukan dapat dijadikan indikator peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa. Menurut Zubaidah (Mahanal, 2005) semakin baik kualitas per¬tanyaan yang diajukan siswa semakin jelas menunjukkan penggunaan penalaran yang baik. Pertanyaan yang diajukan siswa pada tahap presentasi (menyampaikan laporan) juga merupakan salah satu komponen pen-ting dalam pembelajaran, karena dapat me-ningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Semakin sering siswa mengajukan perta-nyaan semakin sering guru memberikan per¬tanyaan balik dan semakin sering pula siswa lain memberikan umpan balik baik berupa jawaban atau pendapat. Melalui serangkaian pertanyaan dan umpan balik tersebut siswa dapat menemukan sendiri jawaban atas per¬tanyaan tadi. Dengan cara demikian diharap¬kan kemampuan berpikir kritis siswa dapat berkembang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Pressley dalam Hasruddin (2004), yang menyatakan bahwa melalui pertanyaan yang diajukan siswa merupakan salah satu strategi yang membantu siswa belajar mema-hami materi pelajaran melalui teks tertulis atau sumber lain dan bukan sekedar meng¬hafal.
Berdasarkan analisis data pada Tabel 3 dapat dikemukakan bahwa terjadi peningkat-an keterampilan menjawab pertanyaan pada siswa kelas V-a MIJS Malang. Hal ini bisa dilihat dari adanya peningkatan prosentase untuk kategori yang tinggi (kategori 4 dan 5) dari siklus I dan II. Peningkatan kualitan jawaban pertanyaan merupakan indikator peningkat-an kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini sesuai pendapat Enis, Marzano et al dalam Arnyana (2004) bahwa salah satu indikator kemampuan berpikir kritis adalah mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban pertanyaan. Gramatika kalimat yang digunakan dalam memberikan jawaban juga dapat dijadikan acuan penentuan kualitas pertanyaan siswa, karena bahasa merupakan tanda untuk mengungkapkan pikiran sese-orang (Rapar, dalam Corebima, 2004).
Berdasarkan analisis data dan pemba¬hasan maka hipotesis tindakan yang diajukan yaitu pemberian tindakan berupa penerapan pembelajaran berdasarkan masalah dengan strategi kooperatif model STAD pada mata pelajaran sains dapat meningkatkan kemam¬puan berpikir kritis siswa kelas V MIJS Ma¬
Susriyati Mahanal, Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah 50 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
lang dapat diterima.
Berdasarkan analisis data pada Tabel 1 da¬pat dikemukakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa kelas Va MIJS Malang dari siklus I ke siklus II sebesar 11,6 atau 16,94%. Dengan kata lain terjadi peningkatan hasil belajar setelah penerapan pembelajaran ber¬dasarkan masalah dengan strategi kooperatif model STAD.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Ibrahim dan Nur (2000); Arends (2004) bahwa belajar berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan meningkatkan kemampuan kognitif. Hal senada dikemu¬kakan oleh Hastings (Arnyana, 2004) bahwa kemampuan kognitif erat kaitannya dengan proses berpikir kritis (khususnya berpikir tingkat tinggi). Selanjutnya dikatakan terda¬pat hubungasn yang erat antara menging-at dan memahami serta antara memahami dan berpikir kritis. Siswa yang memiliki kemam¬puan berpikir kritis menunjukkan bahwa mereka sangat memahami dan sebaliknya dengan memahami mereka akan mampu berpikir komplek. Dengan demikian tampak bahwa mengingat dan memahami menjadi dasar dalam berpikir komplek. Sebaliknya siswa yang dapat berpikir komplek adalah siswa yang mampu mengingat dan mema-hami dengan baik materi yang dipelajarinya.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh temuan penelitian yang dilakukan oleh Timurrini (2000) yang membuktikan bahwa penerapan PBM pada mata pelajaran kimia dapat meningkatkan hasil belajar kimia pada siswa SMUN II Surabaya. Silaban (1999) mem¬buktikan efektifitas PBM pada mata pelajaran fisika yang materinya memerlukan penyelidi¬kan.
Penerapan strategi kooperatif STAD yang diasosiasikan dengan PBM dalam penelitian ini terbukti dapat meningkatkan hasil be¬lajar siswa pada mata pelajaran sains kelas Va MIJS Malang. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Slavin (1997) bahwa setiap kelompok kooperatif akan berusaha memper¬oleh skor/nilai yang tinggi dengan harapan memperoleh reinforcement/ reward. Selanjut¬nya dikatakan setiap anggota kelompok ter¬motivasi saling membantu antar sesamanya untuk menguasai materi pelajaran dengan baik. Proses belajar dengan strategi koope-ratif memungkinkan adanya interaksi antar anggota kelompok sehingga akan dapat me-ningkatkan penguasaan dan pemahaman konsep-konsep yang dipelajari. Lord (2001) mengemukakan bahwa pembelajaran koope-ratif dapat meningkatkan pemahaman materi biologi siswa. Dalam pembelajaran ini siswa lebih banyak bertanya, berbicara, dan men¬jawab pertanyaan. Dengan demikian pema¬haman mereka akan materi pelajaran menjadi lebih baik. Lawrence and Harvey, Tejada da¬lam Arnyana (2004) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar akademik siswa. Temuan peneli¬tian ini juga didukung oleh penelitian Arafah (2005) yang menemukan bahwa penerapan pembelajaran berdasarkan masalah melalui strategi kooperatif model STAD dapat me-ningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan analisis data dan pemba¬hasan maka hipotesis tindakan yang diaju¬kan bahwa pemberian tindakan berupa pe-nerapan pembelajaran berdasarkan masalah dengan strategi kooperatif model STAD pada mata pelajaran sains dapat meningkatkan ha¬sil belajar siswa kelas V MIJS Malang dapat diterima.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dalam dua siklus dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) penerapan pembelajaran berdasarkan 51
masalah dengan strategi kooperatif STAD pada mata pelajaran sains dapat meningkat¬kan kemampuan berpikir kritis siswa kelas V MIJS Malang; dan 2) penerapan pembelajar-an berdasarkan masalah dengan strategi ko¬operatif STAD pada mata pelajaran sains da¬pat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V MIJS Malang.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ada da¬pat disimpulkan: 1) pemberdayaan berpikir kritis hendaknya dilakukan dengan sengaja, terencana dan terus-menerus selama pembe¬lajaran; 2) penerapan pembelajaran berdasar¬kan masalah merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Guru dapat memberdayakan ke¬mampuan berpikir kritis siswa dengan strate¬gi lain dalam pembelajaran yang diyakini dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa; dan 3) penerapan pembelajaran berdasarkan masalah di kelas V MIJS belum bisa maksimal mengingat siswa masih ke¬sulitan mengidentifikasi masalah, menyusun hipotesis, dan membuat kesimpulan sehing¬ga perlu bimbingan yang intensif dari guru untuk mengatasi kesulitan siswa tersebut.
Susriyati Mahanal, Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
DAFTAR RUJUKAN
Arafah, S. 2005. Penerapan Pembelajaran Ber¬dasarkan Masalah Melalui Metode Koo-peratif Model STAD untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas II-8 SMAN I Sumenep. Skripsi tidak diterbitkan. Malang. Universitas negeri Malang.
Arends, R.I. 1997. Classroom Instructional and Management. New York: Mc Graw-Hill Book Companies Inc.
Arnyana, I.B.P. 2004. Pengembangan Perangkat Model Belajar Berdasarkan Masalah Dipan¬du Strategis Kooperatif Serta Pengaruh Im¬plementasinya Terhadap Kemampuan Ber¬pikir kritis dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas pada Pelajaran Ekosistem. Desertasi tidak diterbitkan. Malang. Program Pasca Sarjana (S3) Universitas Negeri Malang.
Corebima, A.D. 1999. Proses dan Hasil Pem¬belajaran MIPA di SD, SLTP, dan SMU: Perkembangan Penalaran Siswa Tidak Dikelola Secara Terencana. Proceding Seminar on Quality Improvement of Math¬ematics and Science Education in Indonesia (JICA). Bandung, Agust 11.
Corebima, A.D. 2001. Pengembangan Pena-laran pada Pembelajaran IPA-Biologi. Makalah disampaikan pada Pelatihan dan Lokakarya PBMP (Pemberdayaan Berpikir kritis Melalui Pertanyaan) bagi Para Guru IPA-Biologi dalam Rangka RUT VII. Ma¬lang: 31 Agustus—1 September .
Corebima, A.D. 2005. Pengukuran Kemam¬puan Berpikir kritis. Makalah disampai¬kan pada Pelatihan dan Lokakarya PBMP (Pemberdayaan Berpikir kritis Melalui Per¬tanyaan) bagi Para Guru dan Mahasiswa Sains Biologi dalam Rangka RUKK VA. 25 Juni 2005 di Jurusan Biologi FMIPA Uni¬versitas Negeri Malang.
Corebima, A.D. 2006. Ketrampilan Proses: Pemberdayaan dana Assesmen. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Persiapan Pelaksanaan PTK untuk Wilayah Pertanian Malang. 8 Juli di Jurusan Biolo¬gi FMIPA Universitas Negeri Malang.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kom¬petensi Mata pelajaran Sains Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Depiknas.
Eggen, P.D., Kauchak, D.P., 1994. Strategi for Teacher. Boston, London, Toronto, Syd¬52 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
ney, Tokyo, Singapore: Allyn and Ba¬con.
Leinhart. 1992. What Research on Learning of Human Thought (pp. 188—123). New York: Cambridge University Press.
Lord, Thomas. R., 2001. 101 Reasoning for Using Cooperative Learning in Biology Teaching. The American Biology Teacher 63 (1), 30-44.
Ibrahim, M. dan Nur, M. 2000, Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press.
Jacob, E. 1999. Cooperative Learning in Context. New York: State University of New York Press.
Johnson, Dw and Johnson, R. 1991. Learning Together and Alone, Cooperative, Competi¬tive and Individualistic Learning. Boston: Allyn and bacon.
Kasbollah, K. 1999. Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru Sains. Makalah disajikan da¬lam Pelatihan Guru Sains dengan Pendeka¬tan STM. Malang: 12—13 Juli 1999.
Mahanal, S., Sunarmi, Wirahayu, Y.A, Yu¬wono, K.S, Kuriawati, E., 2003. Peningka¬tan Pemahaman IPA melalui Pembelajaran Kontekstual bagi Siswa Kelas V MI Jendral Sudirman Malang. Malang: Lembaga Pe¬nelitian UM.
Mahanal, S., Suarsini, E., Indriwati, S.E., Nu¬grahaningsih, dan Tenzer, A., 2005. Pen¬erapan Pola PBMP (Pemberdayaan Berpikir kritis Melalui Pertanyaan) dengan Strategi Kooperatif Model Think Pair Share (TPS) pada Mata pelajaran IPA-Biologi untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir kritis Siswa SMP-SMA dengan Seting Wilayah Pertanian. Laporan Penelitian Hibah PHK A2 Jurusan Biologi FMIPA UM.
Silaban, B. 1999. penerapan Model Pengaja¬ran Berdasarkan Masalah Pada Pengaja¬ran Fisika di SMU. Makalah Komprehensif Program Pasca Sarjana UNESA.
Slavin, S.E. 1997. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. Boston: Allyn Ba¬con.
Sunarmi, Mahanal, S., Suyanto, Yuwono, K.S., Kurniawati, E,S., Suyanto, Yuwono, K.S., Kurniawati, E. 2004. Penerapan Portofolio sebagai Asesmen Autentik pada Pembelaja¬ran IPA dengan Strategi Kontekstual bagi Siswa Kelas V MI Jendral Sudirman Ma¬lang. Malang: Lembaga Penelitian UM.
Sunarmi, Sulasmi, E.S., Saptasari, M., 2001. Peningkatan Penalaran Formal Mahasiswa dengan Penerapan Pola PBMP (Pember¬dayaan Berpikir kritis Melalui Pertanyaan) pada Matakuliah Botani Tumbuhan Tinggi di jurusan Biologi Universitas Negeri Ma¬lang. Malang; Lembaga Penelitian Uni-versitas Negeri Malang.
Sunarmi, Sulasmi, E.S., Saptasari, M., 2002. Peningkatan Penalaran Formal Mahasiswa dengan Penerapan Pola PBMP (Pember¬dayaan Berpikir kritis Melalui Pertanyaan) dan Pembelajaran Kooperatif pada Mataku¬liah Botani Tumbuhan Tinggi di Jurusan Bi¬ologi Universitas Negeri Malang. Malang: Lembaga Penelitian Universitas Negeri
Supramono. 2005. Penerapan Model Perangkat Pembelajaran Berdasarkan Masalah Untuk Meningkatkan Konsepsi dan Keterampilan Berpikir kritis Siswa SD. Desertasi tidak diterbitkan (S3) Program Pasca Sarjana Universitas negeri Malang.
Sushkin, N. 2001. What is constructivism?. (http://www.wpi.edu-15q-501)
Susilo, H. 2006. Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai Sarana Memberdaya¬kan Kemampuan Berpikir kritis. Maka¬lah Disampaikan dalam Lokakarya Pening¬katan Kemampuan Guru Biologi SMP Kota Malang dalam Memberdayakan Kemam¬puan Berpikir kritis Siswa melalui Pembe¬lajaran Biologi di Malang. Tanggal 12 Juli 2006 FMIPA UM.
Timurrini, E. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kimia SMU yang Berori¬entasi pada Model Pembelajaran Ber¬dasarkan Masalah. Makalah Komprehensif 53
Program Pasca Sarjana UNESA.
Wahidin, 1996. Pengembangan daya Nalar Siswa pendidikan dasar. Tesis Tidak Diterbitkan. Program pasca Sarjana IKIP Bandung.
Zubaidah, S. dkk. 2005. Penerapan Pola PBMP (Pemberdayaan Berpikir kritis Melalui Per¬tanyaan) pada Mata pelajaran IPA untuk Meningkatkan Perkembangan Penalaran Siswa Kelas IV MIJS (Madrasah Ibtidai¬yah Jenderal Sudirman) Malang. Malang: Lembaga Penelitian
Zubaidah, S. dkk. 2001. Penerapan Pola PBMP (Pemberdayaan Berpikir kritis Melalui Per¬tanyaan) pada Matakuliah Botani Tumbu¬han Rendah untuk Menunjang Perkemban¬gan Penalaran Formal Mahasiswa. Malang: Lembaga Penelitian Uviversitas negeri Malang.
Syamsu, Y. 2001. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Remaja Rosda¬karya.
Utoyo, I. 1999. Setrategi Mengatasi Kegagalan & Pengelolaan Stress Hidup. Jurnal Teknolo¬gi Pembelajaran Tahun VII No 1: IKIP Malang
Zuriah, N. 2003. Penelitian Tindakan ( Dalam Bidang Pendidikan dan Sosial). Malang: Bayu Media Publising.
Susriyati Mahanal, Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah 54 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Yang Mengalami Kegandaan Sebagai Dasar
Penyusunan Kurikulum Fungsional dan KTSP
Pada Program Tunaganda
Anastasia Widjajantin
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No 5 Malang, Telp. 08155522407
Abstract: In its first stage, this research aims to map the characteristics or behaviors of sev¬eral kinds of multihandicapped children, which is very important or useful for the education of multihandicapped children in several places in Indonesia. The characteristics that will be found are the characteristics of behaviors for a double blind children, deaf twin, double and mental retardation, double quadriplegic. The second phase of this research aims to generate a functional curriculum for inputs to the School Based Curriculum (KTSP) for multihandicapped children. The research design used in this study was a qualitative-naturalistic study using a survey technique. The research was conducted at Bhakti Luhur Malang, Surabaya and Jakarta. The total of teachers involved was 20. The results of this study indicate that the characteristics of multihandicapped children or multihandicapped children’s behaviors can be categorized or mapped into four kinds: attention, sensory, escape, and tangible. The attention behaviors al¬ways appear to visually impaired children through the behaviours, such as removing clothes, always pinching friends’ elbows or people nearby. For children with ‘tunalaras’, the attention behaviors include yelling, banging objects, annoying and biting friends, breaking down and sitting on the floor. The escape behaviors, which appear to visually impaired children through the behaviours such as disrupting a friend, damaging items angrily, crying, hurting themselves, occur to multihandicapped children through the behaviors such as the knee to the head banging, banging head on the floor, while the ‘tunalaras’ children were through banging head or chin, pounding the table.
Kata Kunci: tunaganda, karakteristik, anak- anak berkekurangan ganda
Terminologi tunaganda (multiple handicapped) merujuk pada suatu kondisi, dimana seseorang yang diidentifikasi memiliki lebih dari satu jenis ketunaan atau kecacatan, sehingga untuk meni¬ti tugas perkembangannya mereka memerlukan bantuan atau layanan bimbingan secara spesi¬fik, termasuk dalam program pendidikannya.
Sejauh ini penafsiran tunaganda di ma-syarakat masih sering simpang siur, bahkan tak jarang melenceng dari konteksnya. Misalnya, orang tua sering merasakan tidak perlu mem¬beri pendidikan pada anaknya yang mengalami tunaganda, mereka selalu berpikir bahwa pen¬didikan tidak ada gunanya bagi anaknya. Anak cukup dipelihara diberi makan, pakaian dan sedikit perhatian atau orang tua menganggap bahwa anaknya yang diketahui menyandang kelainan atau ketunaan ganda dianggap seperti terkena suatu komplikasi penyakit, sehingga dengan memasukkan ke lembaga pendidikan atau perawatan khusus mereka berharap di¬harapkan dapat normal kembali, atau minimal dapat memperingan penyakitnya. Penafsiran tersebut sama sekali tidak benar, sebab anak
5455
tunaganda dalam jenjang atau karakteristik manapun sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyakit atau sama dengan penyakit, “multiple handicapped is not disease but a condi¬tion”. Dengan kata lain, ketunaan ganda adalah suatu kondisi akibat disfungsinya dua atau le-bih instrument tubuh (fisik dan/atau mental) serta tidak bisa disembuhkan atau diobati de-ngan obat apapun.
Ada dua bagian penting yang menyertai ke¬beradaan seseorang yang menderita ketunaan ganda. Pertama, konsekuensi akibat kombinasi gangguan atau kelainan pada aspek fisik dan/atau mental tersebut, penderitanya akan meng-alami berbagai kesulitan dalam mengapersepsi segala macam rangsang atau peristiwa yang ada di sekitarnya. Jika ketunaannya gabungan kombinasi penglihatan dan pendengaran, maka kemampuan mengapersepsi peristiwa di sekitar terkait dengan fungsi visual dan fungsi auditif¬nya akan mengalami kesulitan atau hambatan. Demikian juga dengan kombinasi ketunaan yang lain, seperti kombinasi ketunaan berikut ini: tunanetra-tunagrahita, tunanetra-tunadaksa, tunarungu-tuna-grahita, tunarungu-tunadaksa, tunarungu-autis, tunagrahita-autis, tunarungu-tuna-laras, dan sebagainya maka karakteristik kesulitannya yang muncul akan mengacu kepa¬da aspek kelainannya. Kedua, dampak pengir¬ing akibat kegagalan memfungsikan instrument fisik dan/atau mentalnya, akan berpengaruh untuk mengembangkan potensi psikofisik dan sosioemosionalnya.
Apapun ketunaan, gangguan, kelainan satu atau lebih instrument vital tubuh seseorang (fisik dan/atau mental) memang sebuah keru¬gian yang besar dalam kehidupan seseorang, namun demikian hal itu bukanlah akhir dari segala-galanya. Sebab diantara kelemahan aki¬bat ketunaan yang disandang seseorang, pasti masih ada celah yang dapat dikembangkan sekaligus menjadi kelebihan (simak kasus Hel¬len Keller). Kompensasi dari kemampuan fisik dan/atau mental yang hilang atau berkurang dapat dialihkan kepada indera atau potensi psikofisik yang lain. Namun demikian harus tetap disadari bahwa prinsip “kehilangan” pada salah satu instrument tubuh tidak memberikan jaminan penuh pada optimasinya.
Bagaimana dengan guru-guru yang menga¬jar di Sekolah Luar Biasa? Apa pendapat mereka dengan pendidikan bagi anak tunaganda? Para guru merasakan “repot” bila di kelasnya ada anak tunaganda. Biasanya anak-anak ini akan dibiarkan saja, diletakkan di “pojok” diberi mainan seadanya dan dibiarkan saja. Guru juga merasakan anak-anak tunaganda tidak akan pernah bisa berkembang, maka akan mem¬buang waktu saja kalau harus mengajar anak-anak tunaganda. Selain itu guru juga merasa terganggu dengan perilaku anak-anak tuna¬ganda yang “aneh” seperti tiba-tiba berteriak, suka memukul kepala, tiba-tiba menangis, suka melempar-melempar benda yang dipegang. Pe¬rilaku seperti ini sangat menyulitkan guru da-lam mendidik mereka, maka guru lebih memi¬lih menolak mendidik anak tunaganda.
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dise-lenggarakannya pendidikan bagi penyandang tunaganda sebagaimana pendidikan untuk jenis ketunaan lainnya, yakni membantu peserta didik yang menyandang kelainan tersebut agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hu-bungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar. Esensi rekonstruksi pendidikan dan pembelajaran bagi penyandang tunaganda ini dilandasi semangat bahwa pada dasarnya penyandang tunaganda memiliki ke¬butuhan dasar yang sama seperti orang normal lainnya. Oleh karena itu, pemberdayaan anak tunaganda dengan pemberian pengetahuan dan keterampilan yang relevan kondisi dan karak¬teristik anak tunaganda, secara tidak langsung di samping dapat meningkatkan kepercayaan dirinya, juga agar lebih berdaya guna ketika ter¬jun di masyarakat (tidak tergantung pada orang
Anastasia Widjajantin, Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus56 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
lain).
Upaya untuk memberdayakan peserta didik penyandang kelainan atau ketunaan agar mere¬ka memiliki kemandirian memang bukan peker¬jaan yang mudah seperti membalik telapak ta-ngan, terlebih lagi pada mereka yang memiliki kelainan atau ketunaan ganda. Sebab untuk itu diperlukan upayaupaya yang terencana secara sistematis, terarah dan terpadu antar berba¬gai pihak yang terkait, terutama dalam proses pendidikan dan rehabilitasinya, yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan diri yang memungkinkan penyandang kelainan (cacat) mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat (Depnaker, 1999).
Berangkat dari pemikiran tersebut, apapun intervensi yang akan diberikan kepada penyan¬dang tunaganda, eksistensi individu tunaganda sendiri sebagai pribadi dan makhluk sosial ha- rus tetap menjadi pertimbangan utama. Esen-sinya, supaya apapun yang akan dilakukan untuk mereka, benar-benar memiliki kontribusi dalam pengembangan diri anak tunaganda. Se¬hingga pada gilirannya anak tunaganda dapat memiliki pribadi yang mandiri.
Kemandirian pribadi seyogyanya dimiliki setiap individu (termasuk anak berkelainan ganda). Karena individu yang mandiri merupa-kan refleksi dari kekuatan untuk dapat meng¬atur sendiri, tindakan mengarahkan sendiri, tidak tergantung pada kehendak orang lain, serta hal untuk mengikuti kemauan atau lang¬kah sesuai kemampuan sendiri. Individu yang mandiri adalah individu yang secara integratif memilih dan mengarahkan aktivitas-aktivitas sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Oleh kar-ena itu sebagai suatu sikap, kemandirian meru¬pakan suatu akumulasi dari pemahaman, peng¬hayatan, dan keterampilan yang tidak hanya diperoleh melalui proses belajar mengajar pada umumnya, melainkan lebih dari itu.
Dalam berbagai praktek pendidikan dan pembelajaran sehari-hari, peningkatan keman-dirian direfleksikan pada konsep pendidikan yang mengintegrasikan aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap melalui berbagai mata pelajaran. Bahkan dalam KTSP kemandirian ini dapat direalisasikan melalui kegiatan pengem¬bangan diri siswa, yaitu kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, se-tiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah (Efendi, 2009). Khusus untuk satuan pendidikan khusus, pengembangan diri diarahkan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. Untuk itu, pengetahuan dan keterampilan yang tepat untuk diajarkan kepada anak berkebutu¬han khusus adalah pengetahuan dan keteram-pilan yang bersifat fungsional, yakni pengeta¬huan dan keterampilan yang memiliki fungsi meningkatkan kemandirian dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana dengan Dinas PLB? Pada awal¬nya Dinas PLB juga acuh tak acuh, mereka juga merasakan tidak ada gunanya mendidik anak tunaganda, tetapi setelah melihat ada beberapa Yayasan mencoba membuka pendidikan bagi anak tunaganda dan melihat hasilnya maka Di¬nas PLB mulai “membuka mata dan hati” untuk tuna-ganda. Dinas PLB mulai memperhatikan pendidikan tunaganda dan pelaksanaannya diserahkan penuh pada lembaga yang meng-adakan pendidikan bagi tunaganda. Tidak banyak lembaga atau SLB (Sekolah Pendidikan Luar Biasa) yang bersedia membuka program bagi tunaganda karena mereka merasa sulit dalam mendidiknya. Kesulitan yang dirasakan sekolah adalah guru, sekolah merasakan keper¬luan guru harus banyak karena tidak mungkin satu guru memegang anak tunaganda lebih dari lima anak seperti pada sekolah reguler. Selain itu pendidikan tunaganda membutuhkan kuri¬kulum, desain pembelajaran serta media belajar khusus.
Untuk mencapai maksud tersebut, salah 57
satu instrumen pembelajaran yang diperlukan adalah kurikulum yang berisi seperangkat pro¬gram pembelajaran yang sesuai dengan kebu¬tuhan peserta didik tuna-ganda. Akan tetapi sejauh ini pihak yang berwenang (hal ini Dinas PLB) belum menetapkan standar kompetensi untuk peserta didik yang berkelainan ganda, yang dapat digunakan sebagai acuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran anak tunaganda. Atas dasar itulah, pihak lembaga pendidikan yang menyelenggarakan layanan untuk anak tunaganda berinisiatif mengembangkan sen-diri standar kompetensi yang dijadikan acuan untuk program layanan pendidikan dan reha¬bilitasinya, meskipun tetap berkoordinasi den¬gan pihak Dinas PLB.
Secara teoritik strategi untuk menetapkan suatu kompetensi (termasuk kompetensi anak tunaganda) bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) studi literatur yang berhubungan de-ngan jenis dan bentuk institusi pendidikan yang bersangkutan; (2) analisa tugas dalam arti men¬coba menganalisis jenis tugas apa yang akan dikerjakan lulusan setelah tamat nanti (Efendi, 2009). Terkait dengan penelitian ini, untuk me¬netapkan standar kompetensi anak tunaganda tampaknya lebih fisibel jika dalam pemetaannya digunakan cara yang kedua, yakni melalui ana-lisis dari lapangan. Untuk itu, cara yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, yaitu : (a) metode introspeksi, (b) metode wawancara, (c) metode observasi sasaran dalam kegiatan, dan (d) metode angket. Informasi yang diper¬oleh lewat penggunaan instrumen pengumpul data tersebut, selanjutnya akan digunakan se¬bagai dasar untuk melakukan pemetaan dalam rangka menetapkan standar kompetensi untuk anak tunagranda.
Mengapa pemetaan karakteristik atau peri¬laku tunaganda diambil dari data dilapangan? Bukankah bisa merujuk dari buku-buku yang membahas tunaganda!. Disinilah permasalah-annya, tidak banyak buku yang membahas tentang karakteristik tunaganda secara detail, tetapi di lapangan tampak sekali perbedaan karakteristik masing-masing kegandaan dan sangat mempengaruhi belajar mereka. Kondisi inilah mendorong peneliti untuk melakukan pemetaan karakteristik anak berkebutuhan khusus yang mengalami kegandaan sebagai dasar penyusunan kurikulum fungsional dan KTSP pada program tunaganda. Selain itu se¬cara tidak langsung penelitipun menemukan sebuah teori tentang karakteriktik tunaganda.
Karakteristik Tunaganda
Snell M, E. (1987) mengatakan bahwa anak-anak tunaganda mempunyai perilaku yang sa-ngat mengganggu dalam belajarnya seperti suka memukul-mukul kepala, menggigit bibir, me¬nyakiti diri sendiri, membanting-banting diri ke lantai dan masih banyak lagi. Perilaku semacam itu sangat menyulitkan anak dalam belajar dan guru diharapkan mampu bekerja dengan anak dalam kondisi perilaku anak.
Di dalam skala penilaian motivasi, perilaku anak tunaganda dibedakan menjadi perilaku yang bersifat sensory, escape, attention dan tangible. Perilaku yang bersifat escape bila perilaku anak yang “aneh” seperti memukul-mukul kepala, berteriakteriak atau mencukil-cukil mata dll bila anak mulai diminta untuk melakukan suatu aktivitas, perilaku anak membuat guru marah atau jengkel karena anak tidak mau melakukan aktivitas, perilaku tersebut akan berhenti saat guru menghentikan permintaan melakukan aktivitas pada anak. Perilaku tersebut menun¬jukkan bahwa anak ingin melarikan diri karena tidak menyenangi situasi tersebut. Perilaku yang bersifat sensory bila perilaku anak yang “aneh” seperti menjilat-jilat apa saja yang ditemuinya, melihat benda yang menarik dengan seksama, atau menciumi semua benda yang ada diseki¬tarnya, hal itu akan muncul saat anak ditinggal sendiri dalam jangka waktu lama (lebih dari satu jam). Perilaku tadi muncul berulang-ulang
Anastasia Widjajantin, Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus58 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
bila tidak ada orang disekitarnya, anak sangat menikmati perilakunya dengan menggunakan rabaan, penciuman, penglihatan, perasa, anak terlihat tenang tidak peduli dengan lingkungan¬nya saat melakukan aktivitasnya. Perilaku yang bersifat sensory akan selalu muncul bila anak menyenangi aktivitas yang menggunakan sen¬sorinya, jadi anak tidak bisa duduk diam karena akan selalu bergerak. Perilaku yang bersifat at¬tention akan muncul saat guru berbicara dengan orang lain, anak akan melakukan perilaku tes¬ebut saat guru tidak memperhatikannya, peri¬laku tersebut selalu muncul karena anak meng¬inginkan berada di dekat guru. Perilaku yang bersifat attention timbul karena anak minta per¬hatian dari guru, perilaku tersebut sangat men¬jengkelkan guru karena guru tidak bisa bekerja dengan anak lain. Perilaku tangible akan mun¬cul bila anak tidak bisa bermain dengan benda atau aktivitas yang sangat disenangi, bila ben¬da yang disenangi diambil dari anak, perilaku “aneh” tersebut berhenti saat anak mendaatkan apa yang disenangi, perilaku tersebut muncul saat anak diberitahu bahwa mainannya atau ak¬tivitas yang disenangi akan dihentikan.
McLetchie, Barbara A.B, Riggio Marianne, (2001), mengatakan bahwa selain kemampuan awal anak juga karakteristik tunaganda sa-ngat penting diperhatikan dalam penyusunan kurikulum karena dari keduanya kurikulum atau program pendidikan dilakukan. Program dibuat berdasarkan kondisi awal anak bukan berdasarkan keinginan guru atau orang tua.
Karakteristik yang dikatakan Miles di atas merupakan karakeristik tunaganda yang berkaitan dengan kelancaran pembelajaran se¬cara keseluruhan dan masih sangat umum, bu¬kan karakeristik tunaganda dari sisi perilaku. Sedang McLetchie hanya mengatakan bahwa kemampuan awal anak dan karekterisrik tuna¬ganda perlu diperhatikan dalam penyusunan kurikulum. Di sini tidak dijelaskan bagaimana karakteristik masing-masing kegandaan, pada hal setiap paduan kegandaan akan menimbul¬kan perilaku yang berbeda. Guru tidak bisa menggabungkan karakteristik saru kecacatan dengan kecacatan yang lain. Contoh: anak mengalami tunanetra dan tunarungu, maka karakteristik mereka adalah gabungan antara tunanetra dan tunarungu. Gabungan antara tunanetra dan tunarungu menimbulkan karak¬teriktik tersendiri dan unik. Keunikannya atau karakteristik tunanetra adalah: 1) rasa curiga pada orang lain. Keterbatasan akan rangsang penglihatan yang diterimanya akan menyebab¬kan para tunanetra kurang mampu untuk ber¬orientasi dengan lingkungannya. Akibatnya kemampuan mobilitasnya terganggu. Pengala¬man sehari-hari menunjukkan kepada anak tunanetra, bahwa tidak mudah baginya untuk menemukan sesuatu benda yang dicarinya. Anak tunanetra sering bertabrakkan dengan orang lain, kakinya terperosok dalam lubang dan pengalaman-pengalaman lain yang menim¬bulkan rasa sakit, kecewa dan rasa tidak senang dalam hati. Namun ia tidak tahu kepada siapa perasaan yang tidak menyenangkan ini akan ditumpahkan. Perasaan-perasaan kecewa, sakit hati dan sebagainya yang dialami oleh anak tunanetra tersebut mendorong dirinya untuk selalu berhati-hati dalam setiap tindakkannya. Sikap inilah yang dapat menimbulkan sikap selalu curiga pada orang lain; 2) perasaan mu¬dah tersinggung. Perasaan tersinggung ini tim¬bul karena pengalaman sehari-hari yang selalu menyebabkan kecewa,curiga pada orang lain. Mengakibatkan anak tunanetra menjadi emo¬sional, sehingga segala senda gurau, tekanan suara tertentu atau singgungan fisik yang tidak disengaja dari orang lain dapat menyinggung perasannya; 3) ketergantungan yang berkele-bihan. Sikap ketergantungan yang berlebihan adalah sikap tunanetra yang lain. Mereka tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri. Mereka cenderung untuk mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Hal ini terjadi karena dua sebab. Sebab pertama yaitu datang dari diri tunanetra. Sebab kedua datang dari luar diri tunanetra. 59
Dari dalam diri tunanetra adalah belum atau tidak mau berusaha sepenuh hati untuk menga¬tasi kesulitan yang dihadapinya. Dari luar diri tunanetra adalah karena selalu ada rasa kasih sayang dan perlindungan yang berlebihan dari orang lain di sekitarnya. Akibatnya tunanetra tidak pernah berbuat sesuatu, segala keperlu¬annya telah disiapkan orang lain ; dan 4) blind¬ism.
Blindism merupakan gerakan-gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari. Ge- rakan-gerakan ini sangat tidak sedap dipandang mata, misalnya selalu menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab, menggoyang-goyangkan badan dan sebagainya. Semua gerakan ini tidak terkontrol oleh tunanetra, sehingga orang lain akan pusing bila selalu melihat gerakan-ge-rakan tersebut; 5) rasa rendah diri. Tunanetra selalu menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain yang normal. Hal ini disebabkan mer¬eka selalu merasa diabaikan oleh orang diseki¬tarnya. Hal ini terbukti dalam wawancara yang penulis lakukan pada 30 tunanetra. Wawancara dilakukan pada tanggal 2, 3, dan 4 November l994 di PRPCN (Panti rehabilitasi Penderita Cacat Netra) Budi Mulyo Malang dan Bhakti Luhur Malang diperoleh hasil sebagai berikut : perasaan yang muncul saat berinteraksi den¬gan orang awam adalah: a) merasa rendah diri atau minder, terisolir atau tersisih. Tunanetra sudah mencoba untuk bisa saling bincang de-ngan orang awas, tetapi orang awas sulit diajak bicara. Merasa terisolir, jarang orang awas mau bicara dengan tunanetra, jarang mau menyapa lebih dahulu; b) merasa rendah diri dan malu. Tunanetra mencoba untuk beradaptasi atau me¬nyesuaikan diri dengan kegiatan lingkungan, tetapi masyarakat atau orang awas tidak dapat menerimanya; c) merasa rendah diri. Dalam per¬gaulan tunanetra sering diejek, digoda, dilarang keluar rumah, selalu mendapat belaskasihan; 6) tangan ke depan dan badan agak membungkuk. Tunanetra cenderung untuk agak membung¬kukkan badan dan tangan ke depan. Maksud¬nya untuk melindungi badannya dari sentuhan benda atau terantuk benda yang tajam; 7) suka melamun. Mata yang tidak berfungsi meng-akibatkan tunanetra tidak dapat mengamati keadaan lingkungan,maka waktu yang kosong sering dipergunakan untuk melamun; 8) fan¬tasi yang kuat untuk mengingat sesuatu objek. Fantasi ini sangat berkaitan dengan melamun. Lamunannya akan menimbulkan fantasi pada suatu objek yang pernah diperhatikan dengan rabaannya. Fantasi ini cukup bermanfaat untuk perkembangan pendidikan tunanetra. Dengan mudahnya berfantasi, maka guru akan mudah juga untuk menerangkan sesuatu yang sedikit abstrak. Pengalaman sehari-hari dikaitkan de-ngan fantasinya, maka tak jarang tunanetra da¬pat menciptakan sebuah lagu yang indah atau bahkan puisi yang indah pula. Hasil karyanya dapat dinikmati oleh orang pada umumnya dan tak jarang membuat orang kagum sebab hasil karya tunanetra tidak kalah dengan hasil karya seniman pada umumnya; 9) kritis. Keterbatasan dalam penglihatanya dan kekuatan dalam ber¬fantasi mengakibatkan tunanetra sering berta-nya pada halhal yang belum dimengerti sehing¬ga mereka tidak salah konsep. Tunanetra tidak pernah berhenti bertanya bila ia belum menger¬ti. Contoh: guru kelas D III menjelaskan tentang terjadinya hujan. Pada musim kemarau terjadi¬lah penguapan air sungai, air laut, air selokan. Hasil penguapan disimpan sebagai awan. Jika awan sudah banyak, maka akan turun sebagai hujan. Hal tersebut terjadi pada musim hujan. Sikap kritis tunanetra, mengajukan pertanyaan, mengapa saat musim kemarau tidak hujan, bu¬kankah saat itu terbentuk banyak awan? Contoh lain: guru kelas D II menjelaskan tentang kese-hatan. Lalat merupakan salah satu hewan yang membawa bibit penyakit. Bibit penyakit itu dibawa melalui kakinya. Anak diminta untuk meraba peraga lalat yang dibesarkan 100 kali lipat dari aslinya. Sikap kritis tunanetra, meng-ajukan pertanyaan: kalau begitu,lalat makan nasi sepiring pasti habis. Alasannya kaki lalat
Anastasia Widjajantin, Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus60 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
besar-besar,kalau hinggap di piring pasti na-sinya habis. Sikap ini timbul karena guru lupa menjelaskan besar lalat asli; 10) pemberani. Tu¬nanetra akan melakukan sesuatu dengan sung¬guh-sungguh tanpa ragu-ragu. Sikap ini terjadi bila mereka mempunyai konsep dasar yang be¬nar tentang gerak dan lingkungannya, sehingga kadang-kadang menimbulkan rasa cemas dan was-was bagi orang lain yang melihat. Contoh: guru olah raga menjabarkan cara melakukan koprol. Sikap pemberani tunanetra, mereka akan mencoba koprol tanpa bantuan guru. Hal ini tentunya akan berbahaya bagi keselamatan anak. Bila tidak tepat meletakkan kepala dan koprolnya salah, maka akan berbahaya bagi anak. Keadaan seperti ini tidak disadari anak, tetapi gurulah yang was-was, dan 11) Perhatian terpusat (terkonsentrasi). Kebutaannya me¬nyebabkan dalam melakukan suatu kegiatan akan terpusat. Perhatian yang terpusat ini sang-at mendukung kepekaan indera yang masih ada dan normal.
Karakterikstik tunarungu adalah: 1) Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk, ka-rena ada kerusakan ada alat keseimbangan¬nya; 2) gerakkan matanya agak beringas, hal ini terjadi karena mereka ingin menangkap se¬mua kejadian di sekitarnya. 3) gerakan tangan dan kakinya sangat lincah, hal ini nampak saat mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat; 4) keterbatasan dalam berbahasa menyebabkan kesukaran dalam berkomunikasi sehingga perkembangan emosinya terhambat. Mereka selalu berlaku ragu-ragu yang diiringi rasa cemas, sehingga mereka selalu merasa curi¬ga pada lingkungannya dan kurang percaya diri. Bila disimak ke dua karakteristik tersebut di atas yaitu karakteristik tunanetra dan tunaru-ngu, apakah anak yang mengalami kecacatan tu¬nanetra dan tunarungu akan seperti yang telah dijabarkan di atas? Jawabannya adalah “tidak”. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mu¬doch (2000) tentang karakteristik anak tuna-netra- tunarungu (deafblind) ditemukan macam-macam perilaku repetitif. Repetitive behaviors atau perilaku repetitif merupakan kebiasaan-kebiasaan anak deafblind yang “tidak sedap di¬pandang mata”, karena hal tersebut tidak di-lakukan oleh anak normal. Tingkat keparahan repetitif tergantung sejak kapan anak mengala¬mi deafblind, latar belakang keluarga, dan ting¬kat pendidikannya. Perilaku repetitif meliputi (1) memasukkan benda ke mulut, (2) mencukil¬cukil mata, (3) menatap cahaya, (4) mengendus-endus atau membau-bau, (5) menangis atau merengek, (6) menggertakkan gigi, (7) mengu¬lang bunyi-bunyi vokal, (8) menggerak-gerakan kepala, (9) melambai-lambaikan tangan, (10) bertepuk tangan, (11) mengepak-ngepakkan tangan, (12) mengisap tangan, jempol atau jari-jari, (13) melempar-lempar benda, (14) mema¬nipulasi objek secara berulang-ulang, (15) ber¬main-main dengan rambut, (16) bermain-main cahaya dengan menggerak-gerakkan tangan, dan (17) menggerak-gerakkan jari-jarinya.
Inilah salah satu keunikan karakteristik tu¬naganda dan keunikan ini akan berpengaruh dalam menentukan program atau kurikulum pendidikan mereka. Selama ini di SLB bila anak anak tunaganda maka mereka akan meng¬gabungkan masing-masing karakteristik kemu¬dian membuat program untuk anak tersebut.
Pertanyaan lain, apakah kegandaan tuna¬netra dan tunagrahita atau tunanetra dan tu¬nadaksa juga akan memunculkan karakteristik yang unik juga? Bagaimanakah dengan jenis kegandaan lain yang tidak dilihat dari sudut tunanetra? Selama ini belum ada orang yang meneliti karakteristik tunaganda secara spesifik dan dipublikasikan. Disinilah dibutuhkan pe¬nelitian dan pemetaan karakteristik tunaganda sehingga dapat memudahkan guru membuat program atau kurikulum untuk tunaganda se-suai dengan jenis kegandaannya. Snell, M, E. (1987) mengatakan bahwa anak tunaganda sering mengalami perilaku yang menyimpang seperti memuku-mukul kepala, menggigit bibir dan masih banyak lagi perilaku tunaganda yang 61

menmyimpang. Perilaku ini sangat menggang¬gu dalam pembelajaran.
Kurikulum Fungsional
Kurikulum yang digunakan pada pendidik-an anak-anak tunaganda sebaiknya bersifat fungsional, karena pendekatan fungsional sang-at bermanfaat bagi anak-anak tunaganda untuk masa kini dan masa depan. Melalui pendekatan fungsional anak-anak tunaganda mempelajari keterampilan yang merupakan aktivitas sesung-guhnya yang terjadi dalam lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat. Pendekatan fungsional merupakan prinsip dasar untuk pembelajaran anak-anak tunaganda di kelas.
Menurut Scott (1999) pelajaran yang benar-benar fungsional dan berarti (meaningful) akan sangat bermanfaat bagi anak-anak tunaganda, karena menghasilkan sesuatu yang positif untuk kehidupan masa kini dan masa depan sebagai orang dewasa. Program pendidikan sebaiknya berfokus pada komunikasi, merawat diri, be-kerja, hidup mandiri, rekreasi, dan hidup ber-masyarakat, Pelajaran yang fungsional sangat bervariasi dan tergantung pada lingkungan, ke-mampuan, kondisi fisik, dan usia anak-anak.
Kurikulum fungsional didesain untuk me-nyiapkan anak tunaganda agar dapat mandiri sesuai dengan kemampuannya; dan dapat ber-integrasi dengan masyarakat (Wheeler: 1987). Kurikulum ini juga disiapkan untuk memenuhi kebutuhan dan kondisi masing-masing anak tunaganda Selain itu, kurikulum tersebut beri¬si keterampilan fungsional atau adaptive skills. Kurikulum semacam itu sangat penting untuk kehidupan anak-anak tunaganda karena di-harapkan anak- tunaganda mampu mandiri dan berpartisipasi dalam masyarakat. Keterampil-an-keterampilan fungsional tersebut mestinya diintegrasikan dalam pembelajaran dengan set¬ting alamiah, dijalankan secara rutin, dan sangat bersifat individual.
Kurikulum yang biasa digunakan di Seko¬lah Luar Biasa (SLB) Indonesia selama ini kurang mengembangkan aktivitas atau kete-rampilan yang bersifat fungsional. Kurikulum SLB, yang ada selama ini, berisi materi untuk anak-anak yang mengalami satu jenis ketunaan dan memiliki intelegensi normal, seperti tuna-netra dan tunarungu. Selain itu, kurikulum yang digunakan di SLB sarat materi titipan dari pemerintah dan misi visi sekolah penyelengga¬ra, seperti halnya kurikulum siswa normal. Hal itu menunjukkan bahwa kurikulum SLB tidak disusun berdasarkan kebu-tuhan siswa, tetapi disusun berdasarkan kebutuhan orang lain. Bila kurikulum semacam itu diterapkan pada anak tunaganda atau anak tunaganda, maka dapat dipastikan program akan gagal.
Valletutti dan Dummett (1992) menjabarkan beberapa cara untuk mengidentifikasi apakah keterampilan yang diberikan bersifat fungsional atau tidak. Cara untuk mengidentifikasi antara lain dengan pertanyaan: (1) apakah keterampil-an yang diberikan bersifat praktis dan berman¬faat bagi anak dalam kehidupan sehari-hari, (2) akankah keterampilan tersebut digunakan anak pada masa yang akan datang, (3) dapat¬kah anak menggunakan keterampilan tersebut sebagai aktualisasi diri, (4) maukah anak selalu menggunakannya, dengan cara selalu bertanya atau minta bantuan pendidik agar anak dapat melakukan keterampilan tersebut, (5) apakah orang tua percaya bahwa keterampilan tersebut akan berguna di rumah, (6) akankah keterampil-an tersebut membawa perkembangan bagi anak di sekolah, di rumah, dan (7) apakah keterampil-an tersebut mempunyai nilai survival.
Riggio (2004) juga menyatakan bahwa kete-rampilan yang diajarkan pada anak dinyatakan fungsional bila (1) mampu membuat anak men-jadi mandiri, dan mampu berpartisipasi atau tidak terlalu tergantung pada orang lain, (2) sesuai dengan usia kalender, (3) digunakan da-lam kehidupan di keluarga, (4) membantu anak untuk bersosialisasi dengan baik, (5) mampu
Anastasia Widjajantin, Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus62 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
membuat anak hidup dan berpartisipasi de-ngan lingkungannya (6) mampu membuat anak dekat dengan orang lain. Bila guru mampu menjawab keenam pernyataan tersebut, maka akan membantu guru untuk mengetahui sebe-rapa fungsional tujuan yang telah ditulis dalam desain pembelajaran.
Kurikulum untuk anak tunaganda haruslah terintegrasi atau terpadu, tidak seperti sandwich program. Program pendidikan sandwich bagi anak-anak tunaganda terjadi bila program atau kurikulum SD digabung dengan kurikulum anak normal. Anak-anak tunaganda membu-tuhkan suatu program khusus sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan anak-anak tunagan-da tersebut muncul akibat ketunagandaannya.
Secara ringkas dapat dikemukakan bah¬wa kurikulum SLB yang ada pada saat ini kurang sesuai bila diterapkan bagi anak-anak tunaganda. Bila pendidikan bagi anak-anak tunaganda ingin sukses, maka kuri¬kulum harus dimodifikasi dalam bentuk fungsional dan sesuai dengan kebutuhan hidup anak tunaganda sehari-hari (real life ways).
Secara umum tujuan yang ingin dicapai da-lam penelitian adalah memetakan kecenderung-an perilaku yang muncul pada anak tunaganda dengan beragam kombinasi kelainannya. Se-dangkan secara khusus tujuan penelitian ini di-laksanakan: 1) mendeskripsikan berbagai karak-teristik perilaku yang seringkali muncul pada anak berkebutuhan khusus yang mengalami ketunaan ganda; 2) mendeskripsikan klasifikasi perilaku yang muncul pada anak berkebutuhan khusus yang mengalami ketunaan ganda dikait-kan dengan kebutuhan layanan pendidikan dan rehabilitasinya; dan 3) menghasilkan draft Kuri-kulum Fungsional dan KTSP.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka untuk menghasilkan seperangkat informasi em-pirik tentang pemetaan karakteristik perilaku dari beberapa jenis kelainan tunaganda, yang kelak digunakan sebagai dasar untuk mengem-bangkan kurikulum fungsional bagi anak tu-naganda di Indonesia. Untuk itu, rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatifnaturalistik. Lokasi peneli-tian adalah SLB Bhakti Luhur Malang, Surabaya dan Jakarta. Malang 10 guru, Surabaya 2 guru dan Jakarta 20 guru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik anak-anak tunaganda atau pe-rilaku anak tunaganda dapat dikelompokkan atau dipetakan menjadi empat yaitu attention, sensory, escape dan tangible. Perilaku attention terjadi saat anak membutuhkan perhatian atau mencari perhatian, tetapi bila guru selalu mem-berikan perhatian pada anak, maka perilaku attention tidak akan muncul. Perilaku attention yang muncul pada anak tunanetra plus seperti suka melepas baju, selalu mencubit siku teman atau orang yang ada di dekatnya. Untuk anak tunalaras plus perilaku attention seperti berteri-ak sambil membanting benda,gemas dan meng-gigit teman, mogok dan duduk dilantai.
Perilaku escape terjadi pada anak tunagan¬da saat anak ingin melarikan diri karena tidak mau mengerjakan aktivitas yang diminta oleh gurunya. Perilaku ini akan berhenti bila guru menghentikan permintaannya pada anak untuk melakukan aktivitas yang tidak disenagi anak. Perilaku escape yang muncul pada anak tuna-netra plus adalah mengganggu teman, merusak benda dengan marah-marah, suka pukul kepala teman, teriak, menangis, melukai diri, sedang perilaku muncul pada anak tunadaksa plus seperti membenturkan lutut ke kepala, mem-benturkan kepala ke lantai, Pada anak tunalaras 63

tampak dengan memukul-mukul kepala, me¬mukul-mukul dagu, memukul-mukul meja.
Perilaku sensory akan terjadi saat anak dibi¬arkan sendiri tanpa aktivitas maka anak akan mulai menggunakan sensorinya untuk meraba, mencium, menjilat apa saja yang ada diseki¬tarnya. Perilaku ini akan berhenti bila ada orang di dekatkan dan anak diberi aktivitas yang menyenangkan. Perilaku sensory yang mun¬cul pada tunanetra plus seperti menggigit jari , suka pegang alat kelamin, suka menggerakkan ibu jari dan telunjuk. Pada anak tunarungu plus muncul seperti sering pegang pantat dan men¬ciumi rambut, sering menutup telinga, suka berjabatan tangan dan mengelus rambut orang, suka melihat wajah orang dari dekat, bersuara ”cethak-cethok” (bermain dengan lidah dan mulut) sambil menggerakkan tangan, bersuara atau bermain dengan gigi sehingga yang men¬dengarkan merasa geli sambil mengamati jari-jarinya, goyang-goyang kaki.
Perilaku tangible muncul pada saat anak benda yang disenangi diambil oleh guru atau teman. Perilaku tangible akan berhenti bila ben¬da yang disenangi kembali pada anak. Perilaku ini tampak seperti berteriak-teriak, memukul-mukul kepala atau membanting diri atau me¬nangis.
PEMBAHASAN
Pada latar belakang penelitian, dipertanya¬kan mengapa pemetaan karakteristik tunagan¬da diambil dari data lapangan? Bukankah bisa merujuk dari buku-buku yang membahas tuna¬ganda! Disinilah permasalahannya, tidak ban¬yak buku yang membahas tentang karakteristik atau perilaku tunaganda secara detail, tetapi di lapangan tampak sekali perbedaan karakteristik atau perilaku masing-masing kegandaan dan sangat mempengaruhi belajar mereka. Hasil pe¬nelitian ini mengungkapkan betapa banyaknya perilaku “aneh” atau karakteristik anak tuna¬ganda yang tidak ada atau tidak tertulis pada buku-buku. Mengapa tidak banyak buku yang membahas perilaku “aneh” anak tunaganda? Karena selama ini program atau kurikulum untuk tunaganda dibuat sangat individu dan gurulah yang menentukan materi yang harus diberikan pada anak. Guru kurang memperha¬tikan apa kemampuan anak, dan sampai sejauh mana anak dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya. Di dalam pembuatan program guru juga kurang memperhatikan peri-laku yang muncul saat terjadinya pembelajaran. Bila perilaku “aneh” muncul, maka tindakkan guru adalah mencoba untuk mengakhiri peri-laku “aneh” tersebut dengan berbagai macam cara sampai guru berhasil menghentikannya. Guru tidak melihat mengapa perilaku “aneh” itu muncul. Guru juga tidak memperhitungkan perilaku “aneh” tersebut dapat dikendalikan melalui pembelajaran yang tepat, pada hal Snell (1987) mengatakan bahwa anak-anak tunaganda mempunyai perilaku yang sangat mengganggu dalam belajarnya. Dikatakan juga bahwa peri¬laku semacam itu sangat menyulitkan anak da¬lam belajar dan guru diharapkan mampu beker¬ja dengan anak dalam kondisi perilaku anak. Ini berarti perilaku anak yang “aneh” tersebut bisa dimasukkan dalam kurikulum sehingga materi dalam kurikulum salah satunya berisikan ma¬teri untuk mengurangi atau menghentikan pe¬rilaku tersebut, sedang cara mengurangi atau menghentikan perilaku tersebut akan masuk pada strategi mengajar yang akan tampak pada KTSP.
McLetchie, Barbara A.B, Riggio Marianne (2001), mengatakan bahwa selain kemampuan awal anak juga karakteristik tunaganda sangat penting diperhatikan dalam penyusunan kuri¬kulum karena dari keduanya kurikulum atau program pendidikan dilakukan. Miles juga mengatakan bahwa karakeristik tunaganda berkaitan dengan kelancaran pembelajaran se¬cara keseluruhan.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar da¬
Anastasia Widjajantin, Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus64 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010

lam bidang pendidikan tunaganda dapat dike¬tahui bahwa perilaku atau karakteristik anak tunaganda sangat berpengaruh pada pembe¬lajaran. Berdasarkan observasi di lapangan pendapat para pakar tersebut benar perilaku “aneh” tersebut muncul saat anak seorang diri tanpa aktivitas atau anak dipaksa guru untuk melakukan suatu aktivitas dan anak tidak mau, tetapi guru mencoba “merayu” anak untuk mau melakukan aktivitas tersebut atau anak berteri¬ak-teriak tidak mau sekolah karena benda kesa-yangannya tidak dibawa sekolah.
Berdasarkan hasil observasi, peneliti men-coba membuat draft kurikulum dan strategi pembelajaran untuk kelas yabg anak-anaknya suka mogok, duduk di lantai, suka lari-lari dan suka membawa baju-baju dari rumah. Perilaku ini akan diubah menjadi perilaku yang ber¬fungsi untuk kehidupan sehari-hari dan men¬jadi materi utama dalam kurikulum. Pertama dilakukan pengubahan aktivias kelas. Kelas tersebut diubah menjadi kelas “kebersihan” dan ketrampilan orang dewasa. Aktivitas kelas ini menjadi banyak bergerak karena perilaku anak-anak yang timbul dapat diredakan deng-an gerak.
Penelitian awal ini menunjukkan betapa pentingnya seorang guru melakukan pemetaan perilaku anak didiknya sehingga dapat me-nyusun kurikulum dengan tepat. Sehingga diharapkan dapat memenuhi kebijakan pen-didikan di Indonesia bahwa semua sekolah diharapkan dapat menyusun kurikulum dan menggunan KTSP dalam pembelajaran, maka pendidikan tunaganda pun dapat memenuhi keinginan Diknas untuk menyusun kurikulum dan menggunakan KTSP.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Karakteristik anak-anak tunaganda atau pe-rilaku anak tunaganda dapat dikelompokkan atau dipetakan menjadi empat yaitu attention, sensory, escape dan tangible.
Perilaku attention terjadi saat anak membu-tuhkan perhatian atau mencari perhatian, tetapi bila guru selalu memberikan perhatian pada anak, maka perilaku attention tidak akan mun-cul. Perilaku attention yang muncul pada anak tunanetra plus seperti suka melepas baju, selalu mencubit siku teman atau orang yang ada di dekatnya. Untuk anak tunalaras plus perilaku attention seperti berteriak sambil membanting benda,gemas dan menggigit teman, mogok dan duduk dilantai.
Perilaku escape terjadi pada anak tunagan¬da saat anak ingin melarikan diri karena tidak mau mengerjakan aktivitas yang diminta oleh gurunya. Perilaku ini akan berhenti bila guru menghentikan permintaannya pada anak untuk melakukan aktivitas yang tidak disenagi anak. Perilaku escape yang muncul pada anak tuna-netra plus adalah mengganggu teman, merusak benda dengan marah-marah, suka pukul kepala teman, teriak, menangis, melukai diri, sedang perilaku muncul pada anak tunadaksa plus seperti membenturkan lutut ke kepala, mem-benturkan kepala ke lantai, Pada anak tunalaras tampak dengan memukul-mukul kepala, me-mukul-mukul dagu, memukul-mukul meja.
Perilaku sensory akan terjadi saat anak dibi-arkan sendiri tanpa aktivitas maka anak akan mulai menggunakan sensorinya untuk meraba, mencium, menjilat apa saja yang ada diseki-tarnya. Perilaku ini akan berhenti bila ada orang di dekatkan dan anak diberi aktivitas yang menyenangkan. Perilaku sensory yang muncul pada tunanetra plus seperti menggigit jari, suka pegang alat kelamin, suka menggerakkan ibu 65

jari dan telunjuk. Pada anak tunarungu plus muncul seperti sering pegang pantat dan men¬ciumi rambut, sering menutup telinga, suka berjabatan tangan dan mengelus rambut orang, suka melihat wajah orang dari dekat, bersuara ”cethak-cethok” (bermain dengan lidah dan mulut) sambil menggerakkan tangan, bersuara atau bermain dengan gigi sehingga yang men¬dengarkan merasa geli sambil mengamati jari-jarinya, goyang-goyang kaki.
Perilaku tangible muncul pada saat anak benda yang disenangi diambil oleh guru atau teman. Perilaku tangible akan berhenti bila ben¬da yang disenangi kembali pada anak. Perilaku ini tampak seperti berteriak-teriak, memukul-mukul kepala atau membanting diri atau me¬nangis.
Saran
Beberapa saran yang diajukan dalam pene¬litian ini adalah: 1) mengkomunikasikan hasil temuannya pada sekolah-sekolah yang mempu¬nyai program tunaganda; 2) jika pada penelitian tahun ke dua bisa menghasilkan konsep dasar tentang kurikulum yang sesuai bagi pembel-ajaran tunaganda yang agak berat, diharapkan juga dapat menemukan konsep dasar bagi pem¬belajaran anak tunaganda ringan.
Anastasia Widjajantin, Pemetaan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
DAFTAR RUJUKAN
Borg, W, R dan Gall, M, D. 1993. Educational Re¬search, New York: Longman Inc
Crews, N. J. 1990. Buku Pegangan Guru Untuk Anak Cacat. Jakarta: Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala.
Downing, J, E. 2002. Including Students with Severe and Multiple Disabilities in Typical Classrooms. Baltimore: Paul H. Brookes Publishing Co
Gast, D.L., & Schuster, J. W .1993. Student with severe developmental disabilities. New York: Harper Collins
Hellen, K. International._____. Skala Penilaian Motivasi. Jakarta
Heward, W. L. 1984. Exceptional Children. Co¬lumbus: Merrill Publishing Company
Howell, K. W. 1987. Curriculum Based Evaluation for Special and Remedial Education, Colum¬bus: Merrill Publishing Company
McLetchie, Barbara A.B, & Riggio, M. 2001. Trusting Relationships: The Foundation of All Communication, Watertown: Hilton Per¬kins
Miles, B. 1999. Remarkable Conversations: A Guide to Developing Meaningful Communication with Children and Young Adults Who are Deafblind, Watertown: Perkins School for the blind
Mudoch, H. 2000. Repetitive Behaviours In Chil¬dren With Sensory Imparments and Multiple Disabilities, (Online) http://www.google.com/ deafblindinternational.org/review , diakses 6 Maret 2001
Patton, J. R. 1989. Strategies for Teaching Learners with Special Needs. New York: Merrill
Snell, M. E. 1987. Systematic Instruction of Person with Severe Handicaps. Columbus: Merrill Publishing Company
Thawani, V. B. 2000. Visual impairment handbook: Visually impaired children with multiple dis¬abilities. Ahmedabad: Blind People’s Asso¬ciatio
Valletutti, P,J., & Dunmmett, L. 1992. Cognitive Development: A Functional Approads. San Diego: Singular Publishing Group
Widjajantin, A. 1991. Dasar-Dasar Pendidikan Luar Biasa. Malang: Lumen Christi
Widjajantin, A. 1998. Prinsip Dasar Dalam Men¬66 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
didik Tunaganda. Watertown: Perkins School For The Blind67
Penyusunan Video Pembelajaran Inovatif Untuk IPS SD Dengan Model Inkuiri, Jigsaw, Group Investigation,
TGT dan STAD
Budi Eko Soetjipto
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Achmad Samawi
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang
Hakkun Elmunsyah
Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No 5 Malang, Telp. 08155525420
Abstract: : This developmental research was aimed at producing VCD of innovative instruction for the social studies education at grades 3, 4, 5 and 6 of elementary schools. The VCD includes inquiry, Jigsaw, Group Investigation, TGT, and STAD models. A teacher of Sambigede Public Elementary School 01 in Binangun, Blitar Regency acted as a teacher model. Limited try out of the VCD produced was done on August 23, 2008 and June 6, 7 and 20, 2009 in Blitar Regency. The try out revealed that more than half of the elementary school teachers participated in the regency understood about the concepts and procedures of applying the Jigsaw, STAD, TGT, and GI models. Two teachers validated the inquiry models.
Kata kunci: menghasilkan VCD, pengajaran inovatif, inquiry, jigsaw, GI, TGT, and STAD
Terdapat kebutuhan mendesak akan perlunya video pembelajaran inovatif dalam pendidik-an IPS oleh guru-guru IPS di Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari berbagai pengamatan yang kami lakukan. Survey yang dilakukan oleh Soetjipto, dkk, (2008) di Kabupaten Blitar men-dapati sebanyak 16 informan guru (72,72%) masih belum mengenal model inkuiri dan me¬nyatakan keinginannya untuk memperoleh vi-deo pembelajaran tersebut, sedangkan 3 orang (13,64%) benar-benar membutuhkan video ter-sebut untuk memperkaya wawasannya ten¬tang model pembelajaran tersebut. Sedangkan 3 orang lainnya (13,64%) tidak memerlukannya karena model ini mirip dengan GI (Group Inves¬tigation).
Kemudian untuk model JIGSAW, TGT dan STAD dapatlah diketahui bahwa sebanyak 17 informan guru (77,27%) benar-benar memer¬lukan video tersebut karena mereka sudah mengenal teori dan prosedur penerapannya di kelas, namun ingin memperdalam pemahaman dan penerapannya di kelas. Sisanya sebanyak 22,73% benar-benar belum memahami model pembelajaran tersebut dan ingin memperoleh video pembelajaran tersebut. Berikutnya, seba-nyak 40,91 % informan benar-benar memerlu¬kan video untuk GI (Group Investigation) karena para guru tersebut tidak paham sama sekali dan ingin mengetahui lebih dalam tentang hal terse¬but. Yang menarik, sekitar 36,36 % informan guru secara teoritik sudah mengenal model ini, namun masih ragu-ragu untuk menerapkannya di kelas karena takut salah dalam mengimple¬mentasikannya. Mereka ini sangat senang ke¬tika peneliti menjelaskan kepada mereka akan membuatkan videonya dan dengan senang hati akan membantu peneliti dalam menerapkannya di kelas (dengan cara menjadi guru model dalam penyusunan videonya nanti). Sisanya sebanyak
6668 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
22,73 % informan benar-benar belum mengenal model ini dan berkeinginan untuk memperoleh video pembelajaran model ini tanpa memberi¬kan dukungan (bantuan) untuk menjadi guru model dalam penyusunan video tersebut.
Selanjutnya, untuk PBL (Problem Based Learn¬ing) sebanyak 22,73 % informan guru membu¬tuhkan video ini karena mereka tidak memaha¬mi sama sekali model ini, sedangkan sebanyak 36,36 % informan guru lainnya benar-benar me¬merlukannya. Yang juga menarik di sini adalah sebanyak 40,91 % informan sudah mengenal model ini, sedikit paham tentang prosedurnya, tetapi ragu-ragu hal ini dapat diterapkan untuk siswa sekolah dasar.
Dari hasil pengamatan yang lain (Novem¬ber 2006 sampai Maret 2007) terhadap perku¬liahan pengembangan IPS SD bagi mahasiswa program S1 PGSD yang dilaksanakan di UPP2 (Madyopuro) serta UPP1 (kelas kerjasama den¬gan Pemda Pasuruan) dapatlah diketahui bahwa sebagian besar (95%) mahasiswa masih belum memahami berbagai pendekatan pembelaja¬ran yang berpusat pada siswa (students-learn¬ing oriented) seperti: Numbered-Head Together, Think-Pair-Share, JIGSAW, STAD (Student Team Achievement Division), TGT (Team-Game-Tour¬nament), GI (Group Investigation, serta model in¬quiry, dan PBL (Problem-Based Learning). Jajak pendapat yang kami lakukan terhadap 75 ma¬hasiswa tersebut mengindikasikan perlunya pe¬nyusunan skenario pembelajaran serta contoh praktis penggunaan pendekatan di atas dalam kemasan VCD yang dapat dilihat dengan jelas bagaimana prosedur pembelajaran IPS dengan model di atas (Soetjipto, dkk, 2009)
Selanjutnya, pertemuan dengan guru-guru SD dan SMP serta MTS yang kami lak¬sanakan di Kabupaten Blitar (dilaksanakan di Kesamben, Blitar sekitar bulan Maret 2006) juga mengindikasikan bahwa masih banyak di antara guru-guru tersebut yang tidak mema¬hami pendekatan cooperative learning, PBL dan inkuiri. Mereka juga menyarankan disusunnya VCD yang menggambarkan bagaimana memu¬lai pendekatan pembelajaran di atas.
Kegiatan pengabdian pada masyarakat yang kami lakukan pada guru-guru di Situbondo dan Pajarakan pada tahun 2006 yang lalu juga meng¬isyaratkan perlunya VCD pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Berbagai teknik dan pendekatan dalam cooperative learning sangat mereka butuhkan dalam rangka mensuplemen pemahaman mereka dari buku-buku yang ada.
Pada pengamatan yang lain di beberapa tempat di Jawa Timur (Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kota Blitar, Kabupaten Bli¬tar, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Pasuru¬an) juga didapati bahwa sebagain besar dari guru-guru tersebut masih awam dan belum be¬gitu memahami cara-cara mengimplementasi¬kan active learning. Pengamatan tersebut dilaku¬kan dalam rangka kerjasama antara Universitas Negeri Malang dengan pemerintah Daerah da¬lam rangka meningkatkan kualitas guru, pem-belajaran dan pengelolaan SD melalui kegiatan pendidikan jabatan (inservice training).
Survey awal perkuliahan yang dilaksana¬kan oleh Soetjipto terhadap guru-guru SD di Maluku Selatan yang sedang melaksanakan program S1 PGSD di PP2 Madyopuro, Malang menyatakan bahwa semua guru (100%) tidak mengetahui cara merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi model JIGSAW, STAD, Think-Pair-Share, TGT, Group Investigation, Inkuiri dan Problem-Based Learning dalam pembelajaran IPS di kelas. Berdasarkan survey awal ini maka pe¬neliti memperkenalkan dan mengembangkan berbagai model di atas dalam suatu simulasi dan praktek di kelas dalam mata kuliah Pengemba-ngan IPS. Materi yang dibahas berkaitan dengan konten materi IPS SD antara lain bencana alam, keragaman budaya, ras dan agama, penanganan flu burung, pasar, mata pencaharian penduduk dan lapangan kerja, keluarga dan kekerabatan.
Kemudian, survey terhadap mahasiswa PGSD S1 kelas kerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasuruan di Pasuruan yang juga dilakukan oleh Soetjipto (2006) juga meng¬indikasikan belum familiernya para guru de-69
ngan berbagai pendekatan pembelajaran yang inovatif serta berorientasi pada siswa. Para guru ini sebagian berasal dari berbagai lulusan D2 PGSD di luar UM. Wawancara yang dilakukan dengan guru menyatakan bahwa mereka tidak mengenal pendekatan cooperative learning, PBL dan Inkuiri.
Samawi, dkk (2005) telah melaksanakan pe¬nelitian tindakan kelas yang berjudul “Penera¬pan Metode JIGSAW untuk meningkatkan pe¬mahaman siswa tentang konsep multikultural pada matapelajaran pengetahuan sosial Kelas IV Sekolah Dasar Laboratorium Universitas Negeri Malang”. Hasil penelitian ini menun¬jukkan bahwa model Jigsaw dapat meningkat¬kan pemahaman siswa kelas IV tentang konsep multikultural dilihat dari ketuntasan pada skor awal (pretest) 12,6%, meningkat menjadi 20,1% pada siklus I, dan pada siklus II menjadi 66,6% serta seluruhnya tuntas (100%) pada siklus III. Dampak penerapan model Jigsaw ini dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas, suasana menyenangkan, interaksi guru dan siswa, serta kecakapan hidup siswa dalam berfikir problem solving, akademik, personal, sosial, dan spiri¬tual.
Samawi juga berkesempatan menguji skrip¬si Penelitian yang dilakukan oleh Luluk (2006) dengan judul “Peningkatan Prestasi Belajar MataPelajaran IPS melalui model pembelajaran kooperatif JIGSAW pada Siswa kelas IV SDN Arjowinangun I Kecamatan Kedungkandang Kota Malang”. Hasil penelitian ini menunjuk¬kan bahwa hipotesis tindakan yang berbunyi penggunaan pembelajaran kooperatif Jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar mata pel- ajaran IPS pokok bahasan pasar pada siswa kelas IV SD dapat diterima.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Soetjip¬to (1996), menyatakan bahwa metode inkuiri ba-nyak dilakukan oleh guru-guru sekolah di Vic¬toria, Australia. Temuan yang lain menyatakan bahwa penggunaan model inkuiri ini ternyata dapat meningkatkan rasa keingintahuan siswa akan topik yang diteliti, menigkatkan kerja sama kelompok dan mendorong siswa menjadi pemecah masalah yang independen (indepen¬dent problem solvers).
Tujuan yang ingin dicapai dalam peneli¬tian ini adalah untuk: Menyusun video model pembelajaran IPS untuk kelas 3, 4, 5 dan 6 den¬gan model pembelajaran Inkuiri, PBL, JIGSAW, Group Investigation, TGT dan STAD; Melaku¬kan uji coba model; Memperoleh validasi VCD dari para ahli. Hasil penelitian dan penyusunan VCD ini sangat berguna untuk: (1) Mahasiswa D2 dan S1 PGSD di Universitas Negeri Malang dalam memahami implementasi penggunaan berbagai metode pembelajaran IPS yang ber¬pusat pada siswa; (2) Guru-guru IPS SD lainnya di Jawa Timur dan Indonesia pada umumnya yang sangat membutuhkan VCD ini; (3) Ma¬hasiswa IPS PGSD di universitas lainnya baik negeri maupun swasta serta mahasiswa juru¬san lainnya yang membutuhkannya; dan (4) Guru-guru SD yang akan mengikuti sertifikasi guru baik dari jalur portofolio, diklat sertifikasi dan pendidikan sertifikasi guru 1 tahun, serta guru-guru lainnya yang ingin meningkatkan kemampuan dan ketrampilan profesionalnya.
METODE
Penelitian ini menggunakan prinsip ran-cangan penelitian pengembangan yang dike¬mukakan oleh Borg dan Gall dengan proses sebagai berikut: 1) mempelajari hasil-hasil penelitian yang terkait dengan produk yang akan dikembangkan (studi pendahuluan); 2) Mengembangkan produk berdasarkan hasil-ha¬sil penelitian tersebut; 3) Menguji produk dalam seting dimana produk tersebut akan diperguna¬kan dan merevisinya untuk mengoreksi kelema¬han produk; dan (4) Uji coba produk dilakukan kembali sampai produk yang dikembangkan benar benar siap dimplementasikan di lapang-an secara operasional.
Disain Pengembangan model model pem¬belajaran IPS ini dilakukan dengan 3 tahap.
Budi Eko Soetjipto, Penyusunan Video Pembelajaran Inovatif Untuk IPS70 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
Penelitian tahap 1 sudah selesai dilakukan. Se¬dangkan Indikator capaian keberhasilan dari penelitian tahap 2 (tahun kedua) adalah pelak¬sanaan pengembangan dan uji coba model. Ber¬dasarkan masukan-masukan yang diperoleh dari survey pada tahun pertama, maka akan dikembangkan model pembelajaran Inkuiri, JIGSAW, Group Investigation, TGT dan STAD. Uji coba model ini akan dilakukan pada SD-SD yang terpilih sebagai sampel. Setelah uji coba dilakukan dengan hasil yang memuaskan, maka akan dilakukan pembuatan video pembelaja¬ran berdasarkan skenario pembelajaran untuk topik-topik tertentu yang telah disepakati den¬gan guru. Guru model yang akan mempraktik¬kan berbagai model pembelajaran di atas ada¬lah guru lulusan PGSD FIP Malang yang pernah mendapatkan materi pembelajaran di atas, serta bersedia menjadi guru model untuk penyusun-an video ini.
Materi Pembelajaran IPS yang akan dibuat¬kan VCD pembelajaran akan disesuaikan de-ngan materi yang sedang berlangsung serta dengan konsultasi dan diskusi yang mendalam dengan guru model. Guru model akan mensi-mulasikan secara terbatas dengan beberapa murid yang terlibat dalam penyusunan VCD ini dengan pengarahan dari peneliti. Setelah semuanya berjalan dengan baik, maka akan dibuatkan VCD yang riil.
Penyusunan Video Pembelajaran
Walaupun hasil-hasil penelitian tahap per¬tama sudah dapat mengidentifikasi materi dan model yang akan divideokan, namun untuk kepentingan penyusunan VCD wawancara mendalam masih perlu dilakukan dengan guru model untuk menentukan materi pembelajaran IPS, kelas, kompetensi yang ingin dicapai serta model pembelajaran inovatif yang akan diper¬gunakan. Hal ini dimaksudkan agar materi dan model yang akan di VCDkan sesuai dengan materi dan waktu yang sudah ditetapkan guru. Selanjutnya, akan dilakukan shooting video ke lokasi yang sudah ditentukan. Shooting ini dilakukan dengan memperhatikan suara dan gambar yang baik agar dapat dipahami dengan baik oleh guru. Diupayakan semua penjelasan guru dan tanggapan siswa dapat terrekam de-ngan baik. Langkah-langkah penyusunan VCD dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
Penyusunan VCD ini akan dilakukan dengan sebaik mungkin dan suasana pem¬belajaran di kelas akan diambilkan dari ber¬bagai “angle” sehingga akan semakin menarik dan dapat menangkap semua aktivitas pem¬belajaran. Hasil-hasil VCD yang sudah dibuat diupayakan divalidasi oleh pakar VCD pem¬belajaran. Validasi CVD meliputi: materi, model, dan viewers untuk melihat applicability model di kelas. Validasi dilakukan oleh guru dan pakar.
HASIL
Video pembelajaran model STAD, JIG¬SAW, inkuiri, Group Investigation (GI), TGT sudah dibuat dengan setting di salah satu SD di kecamatan Binangun Kabupaten Bli¬tar yaitu SD Sambigede I dengan guru model Ibu Yulia Desi Indrasari, S. Pd, sedang video pembelajaran model PBL (problem based learn¬ing) dibatalkan penyusunan videonya karena ada pandangan bahwa PBL mirip dengan GI (Group Investigation), sehingga dikhawatir¬
Wawancara dengan guru modeltentang persiapan materi, media, RPP dan model pembelajaranShooting identitas Sekolah, lingkungan sekolah dan suasana pembelajaran secara umumskenario dan langkah-langkah pembelajaran mulai pembukaan (apersepsi) sampai penutupNarasi setiap langkah pembelajaranGambar 1 Langkah-Langkah Penyusunan VCD71
kan akan membuat para guru bingung dalam mengimplementasikan keduanya. Dengan demikian dari 12 skenario video yang ditar¬getkan pada tahun kedua ini ternyata hanya dapat dihasilkan 10 video karena ada kemirip-an antara GI dan PBL.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan disusun DVDnya adalah Model Jigsaw sebanyak 2 skenario (Model Jigsaw-1; Model Jigsaw-2), Model STAD se¬banyak 2 skenario (STAD-1 dan STAD-2), Model TGT sebanyak 2 skenario (TGT-1 dan TGT-2), Model GI sebanyak 2 skenario (GI-1 dan GI-2), serta Model Inkuiri sebanyak 2 ske¬nario (Model Inkuiri-1 dan Mo-del Inkuiri-2).
Uji Coba Terbatas
Uji coba terbatas terhadap video pem¬belajaran ini dilakukan di Kecamatan Ng¬legok, Kabupaten Blitar pada tanggal 23 Agustus 2008 yang melibatkan sejumlah 143 peserta yang terdiri atas guru SD dan SMP serta beberapa guru TK yang bermi-nat. Keg¬iatan Sosialisasi ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Kepala Dinas Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Sek¬si Kurikulum Dinas pendidikan Kabupaten Blitar, dan pengawas TK dan SD Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar. Dalam kegiatan sosialisasi tersebut juga dilaksanakan semi¬nar tentang metode pembelajaran IPS serta semua peserta melihat pelaksanaan pembela¬jaran TGT serta NHT serta TPS di salah satu SD di Kecamatan Nglegok kabupaten Blitar.
Uji coba terbatas kedua dilakukan kepada sekitar 80 orang guru SD dan Kepala Sekolah SD yang ada di kecamatan Binangun yang dilakukan pada tanggal 6,7 dan 20 Juni 2009 yang lalu. Kegiatan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan dosen-dosen yang lain yang sedang melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan bantuan biaya dari pro¬gram IPTEKS DIKTI tahun 2009 untuk Uni¬versitas Negeri Malang. Uji coba ini dikemas dalam bentuk pelatihan model-model pem¬belajaran ino-vatif IPS SD dan PTK.
Validasi VCD
Dari sosialisasi model-model pembela¬jaran yang telah dilakukan kepada Kepala sekolah dan Guru-Guru SD (validasi oleh pengguna) di Kabupaten Blitar diperoleh in¬formasi seperti pada tabel 1.
Berdasarkan tabel 1 dapatlah diketahui bahwa sebagian besar peserta (56,67%) sudah jelas dalam memahami konsep dasar pembe¬lajaraan kooperatif; selanjutnya sebanyak 35 % peserta sudah merasa cukup jelas. Dengan demikian peneliti yakin bahwa video model pembelajaran Jigsaw ini akan dapat diterima dengan mudah bagi pemirsanya yang ingin mengetahui sintaks pembelajaran model ini dengan mudah.
Berikutnya untuk mengetahui respon pe¬
Budi Eko Soetjipto, Penyusunan Video Pembelajaran Inovatif Untuk IPS
Tabel 1 Respon Peserta Tentang Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw
KategoriJumlahPersentase (%)A (sangat tidak jelas)00B( Tidak jelas)00C (cukup jelas)2135D (jelas)3456.67E (sangat jelas)58.33Jumlah60100
Tabel 2 Respon Peserta Tentang Pembelajaran Kooperatif STAD
KategoriJumlahPersentase (%)A (sangat tidak jelas)00B( Tidak jelas)35C (cukup jelas)2135D (jelas)3355E (sangat jelas)35Jumlah6010072 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
serta pelatihan tentang pembelajaran STAD dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan tabel di atas dapatlah dike¬tahui bahwa sebagian besar (55 %) guru-guru SD sudah jelas dalam memahami prosedur dan sintaks pembelajaran model STAD ini, se¬dang yang lain (35 %)sudah cukup jelas. De-ngan demikian peneliti berkeyakinan bahwa video pembelajaran STAD ini akan dapat di¬terima oleh masyarakat, utamanya guru-guru SD yang ingin memahami prosedur/langkah-langkah pembelajaran STAD.
Berikutnya, untuk mengetahui respon gu-ru-guru SD terhadap model pembelajaran ko¬operatif model Group Investigation (GI) dapat dilihat pada tabel 3.
Berdasarkan tabel 4 dapatlah diketahui bahwa sebagian peserta sudah jelas (42,37%) dan cukup jelas (49,15 %) dalam memahami sintaks dan prosedur model pembelajaran Group Investigation (GI). Dengan demikian peneliti yakin bahwa kehadiran video pem¬belajaran ini dapat diterima oleh masyarakat terutama guru-guru SD. Selanjutnya, untuk mengetahui respon guru-guru SD tentang pembelajaran kooperatif model Teams-Games-Tournament (TGT) dapat dilihat pada tabel 4.
Berdasarkan tabel di atas dapatlah dike¬tahui bahwa sebagain besar guru-guru SD sudah jelas (52,54%) dan cukup jelas (40,67%) dalam memahami model pembelajaran ko-operatif model TGT. Dengan demikian, pe¬neliti berkeyakinan bahwa kehadiran video pembelajaran TGT ini akan dapat diterima oleh masyarakat luas, termasuk para guru SD yang ingin mendalami model pembelajaran ini.
Berikutnya, khusus untuk inkuiri, vali¬dasi model ini tidak dilakukan melalui ke-giatan sosialisasi pada berbagai guru SD di atas, namun dilakukan pada 2 guru di Kabu¬paten Blitar. Kedua guru tersebut merupakan guru senior (usia di atas 50 tahun, lulus D2 dan sedang meneruskan S1 PGSD; dan se¬orang guru SD yunior dengan masa kerja 3 tahun, sudah diangkat menjadi pegawai neg¬eri sipil dan telah mendapatkan perkuliahan modelmodel pembelajaran inovatif termasuk cooperative learning). Respon kedua validator terhadap video ini sangat baik dan dapat me¬mahami skenario VCD yang sudah dibuat. Dengan demikian peneliti yakin bahwa ke¬hadiran video pembelajaran inkuiri ini juga akan diterima oleh masyarakat pendidikan khususnya guru-guru SD.
Yang terakhir, model PBL dan inkuiri menurut salah seorang ahli teori dan praktek pendidikan (pejabat UM, lulus S3, pengalam-an kerja 24 tahun) agak mirip sehingga peny¬usunan model PBL ini ditunda dulu sambil memberikan dasar-dasar teoritis yang kuat kepada guru sehingga dapat membedakan antara PBL dan inkuiri. Sangat dimungkink¬an model PBL ini dibuat pada tahun ketiga dan perlu disosialisasikan pada guru-guru yang lain di luar Kabupaten Blitar. Mengikuti
Tabel 3 Respon Peserta Tentang Pembelajaran Kooperatif Model Group Investigation (GI)
KategoriJumlahPersentase (%)A (sangat tidak jelas)00B( Tidak jelas)23.38C (cukup jelas)2949.15D (jelas)2542.37E (sangat jelas)35.08Jumlah60100
Tabel 4 Respon Peserta Tentang Pembelajaran Kooperatif Model Teams-Games-Tournament (TGT)
KategoriJumlahPersentase (%)A (sangat tidak jelas)00B( Tidak jelas)23.38C (cukup jelas)2440.67D (jelas)3152.54E (sangat jelas)23.38Jumlah6010073
saran pakar di atas, maka model PBL ini di¬tunda dulu, sambil memberikan dasar-dasar teoritis yang kuat kepada guru SD tentang konsep dan penerapan PBL ini di kelas.
PEMBAHASAN
Sintaks pembelajaran Jigsaw adalah seba¬gai berikut: 1) siswa dibagi menjadi beberapa anggota kelompok belajar secara heterogen, misalnya kelompok A, B, C dan D; 2) masing-masing kelompok ini ditunjuk menjadi ahli (expert) tentang bidang (sub topik) tertentu dari materi, misalnya X,Y,Z dan N; 3) siswa-siswa dari kelompok A,B,C dan D yang ditun¬juk expert tentang X selanjutnya berkumpul, belajar bersama tentang materi X sehingga menjadi expert tentang X. Demikian pula de-ngan anggota lainnya yang ditugaskan men¬jadi expert tentang materi lainnya; dan 4) sete¬lah diskusi dalam kelompok expert ini selesai, para ahli ini kembali ke kelompoknya semula (kelompok asal) yaitu A,B,C dan D dan mem¬berikan penjelasan kepada anggota lainnya di dalam kelompok materi yang dikuasainya dan mendengarkan dari ahli lainnya tentang materi lainnya pula (Soetjipto, 2008; http://olc.spsd.sk.ca/ DE/ PD/ instr/strats/jigsaw/)
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebanyak 56,67% sudah jelas dalam memahami konsep dasar pembelajaraan ko¬operatif; selanjutnya sebanyak 35 % peserta sudah merasa cukup jelas. Dengan demikian peneliti yakin bahwa video model pembel-ajaran Jigsaw ini akan dapat diterima dengan mudah bagi pemirsanya yang ingin menge¬tahui sintaks pembelajaran model ini dengan mudah.
Sintaks pembelajaran model STAD adalah sebagai berikut: 1) guru menyajikan materi pelajaran; 2) kemudian siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas 4-5 anggota yang heterogen; 3) kelompok membantu masing-masing anggota kelompok untuk menguasai materi tersebut; 4) siswa kemudian mengambil kuis-kuis individual. Skor kuis siswa dibandingkan dengan nilai rata-rata mereka di masa lalu. Nilai kemudian diberikan atas dasar sejauh mana siswa dapat mencapai atau melebihi yang telah mereka peroleh di masa lalu. Nilai-nilai ini kemudi¬an dijumlahkan untuk membentuk skor tim (team); dan 5) kemudian tim yang mencapai kriteria tertentu memperoleh hadiah. Sistem ini memberikan kesempatan yang sama pada siswa untuk menyumbangkan nilai-nilai mak¬simum pada kelompoknya (Soetjipto, 2008).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar (55 %) guru-guru SD sudah jelas dalam memahami prosedur dan sintaks pembelajaran model STAD ini, sedang yang lain (35%) sudah cukup jelas. Arend (www.indiana.edu/~safeschl/ cooperative_learning.pdf) menyatakan bahwa STAD ini merupa¬kan pendekatang yang paling sederhana dan langsung mengenai sasaran. Dengan demiki¬an peneliti berkeyakinan bahwa video pem¬belajaran STAD ini akan dapat diterima oleh masyarakat karena mudah diikuti sintaks pembelajarannya, utamanya guru-guru SD yang ingin memahami prosedur/ langkah-langkah pembelajaran STAD.
Sintaks Pembelajaran Model Group Inves¬tigation adalah sebagai berikut: 1) kelompok dibentuk berdasarkan minat yang umum da¬lam sebuah topik; 2) siswa merencanakan, meneliti, dan membagi tugas-tugas pem¬belajaran di antara anggota kelompok; dan 3) anggota-anggota kelompok kemudian mensintesa atau meringkas temuan-temuan mereka dan menyajikan topiknya bagi semua anggota kelas (Soetjipto, 2008).
Berdasarkan penelitian ini dapatlah dike¬tahui bahwa sebagian peserta sudah jelas (42,37%) dan cukup jelas (49,15 %) dalam memahami sintaks dan prosedur model pem¬belajaran Group Investigation (GI). Menurut Adityawan dalam http://dudy-adityawan.com/education/group-investigation-method-
Budi Eko Soetjipto, Penyusunan Video Pembelajaran Inovatif Untuk IPS74 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
learning/ model GI ini melibatkan siswa untuk melakukan penelitian untuk memecahkan masalah mereka. Sehingga sintaks yang jelas dalam mengimplementasikan GI akan mu-dah dimengerti oleh guru, apalagi didukung dengan adanya video GI ini. Dengan demiki¬an peneliti yakin bahwa kehadiran video pem¬belajaran ini dapat diterima oleh masyarakat terutama guru-guru SD.
Sintaks pembelajaran model TGT adalah sebagai berikut: Guru membagi siswa menja-di beberapa kelompok yang terdiri atas 4-5 siswa yang heterogen; dalam meja turnamen, siswa dikelompokkan sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing (pandai dila¬wankan pandai; kurang pandai dilawankan kurang pandai); Siswa menempati meja tur¬namen dipandu oleh juri dan pembantu juri; melaksanakan turnamen; Pensekoran (Soetjipto, 2008)
Selanjutnya, sebagian besar guru-guru SD sudah jelas (52,54%) dan cukup jelas (40,67%) dalam memahami model pembelajaran koo-peratif model TGT. Dengan demikian, pe¬neliti berkeyakinan bahwa kehadiran video pembelajaran TGT ini akan dapat diterima oleh masyarakat luas, termasuk para guru SD yang ingin mendalami model pembelajaran ini.
Menurut Ellis (dalam Soetjipto, 2001) pendekatan inkuiri didasarkan atas tiga pengertian, yaitu siswa terlibat dalam kesem¬patan belajar dengan derajat “self-direction” yang tinggi; siswa dapat mengembangkan sikap yang baik terhadap belajar, juga siswa dapat menjaga dan menggunakan informasi untuk waktu yang lama. Seif (dalam Soetjipto, 2001) juga menambahkan bahwa inkuiri mempunyai 4 ciri penting, yaitu: Pertama, inkuiri ini melibatkan pendekatan pembelaja¬ran untuk “menanyakan” dan terbuka untuk menerima gagasan dan pemikiran baru. Ke-dua, seseorang yang berorientasi pada inkuiri adalah orang yang sangat penyabar. Ketiga, inkuiri didasarkan atas asumsi ”kebebasan ide”, sebuah asumsi bahwa individu diijink¬an dan diharapkan untuk memiliki “gagasan cemerlang” (wonderful ideas). Keempat, inkui¬ri adalah sebuah proses yang melibatkan par¬tumbuhan. Ciri-ciri inkuiri tersebut sudah cukup dipahami oleh 2 orang guru yang akan memvalidasi model ini, tetapi belum oleh gu¬ru-guru yang lain. Khusus untuk inkuiri, vali¬dasi model ini tidak dilakukan melalui kegiat-an sosialisasi pada berbagai guru SD di atas, namun dilakukan pada 2 guru di Kabupaten Blitar. Kedua guru tersebut merupakan guru senior (usia di atas 50 tahun, lulus D2 dan se¬dang meneruskan S1 PGSD; dan seorang guru SD yunior dengan masa kerja 3 tahun, sudah diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan te¬lah mendapatkan perkuliahan model-model pembelajaran inovatif termasuk cooperative learning). Respon kedua validator terhadap video ini sangat baik dan dapat memahami skenario VCD yang sudah dibuat. Dengan demikian peneliti yakin bahwa kehadiran video pembelajaran inkuiri ini juga akan di¬terima oleh masyarakat pendidikan khusus¬nya guru-guru SD. Yang terakhir, model PBL dan inkuiri menurut salah seorang ahli teori dan praktek pendidikan (pejabat UM, lulus S3, pengalaman kerja 24 tahun) agak mirip sehingga penyusunan model PBL ini ditunda dulu sambil memberikan dasar-dasar teori¬tis yang kuat kepada guru sehingga dapat membedakan antara PBL dan inkuiri. Sangat dimungkinkan model PBL ini dibuat pada tahun ketiga dan perlu disosialisasikan pada guru-guru yang lain di luar Kabupaten Blitar. Mengikuti saran pakar di atas, maka model PBL ini ditunda dulu, sambil memberikan dasar-dasar teoritis yang kuat kepada guru SD tentang konsep dan penerapan PBL ini di kelas.75
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penyusunan video model pembelajaran IPS untuk kelas 3, 4, 5 dan 6 dengan model pembelajaran Inkuiri, JIGSAW, Group Investi¬gation, TGT dan STAD telah selesai dilakukan, sedang video model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dibatalkan penyusunan¬nya karena mirip dengan model Group Inves¬tigation (GI). Guru model dalam penyusun-an video ini adalah Ibu Yulia Desi Indrasari, S.Pd, seorang guru SD di SDN Sambigede 01 Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar.
Uji Coba Model
Uji coba terbatas terhadap video pembel-ajaran ini dilakukan di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar pada tanggal 23 Agustus 2008 yang melibatkan sejumlah 143 peserta yang terdiri atas guru SD dan SMP serta beber¬apa guru TK yang berminat. Kegiatan Sosial¬isasi ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Kepala Dinas Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Seksi Kuriku¬lum Dinas pendidikan Kabupaten Blitar, dan pengawas TK dan SD Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar. Uji coba terbatas kedua di¬lakukan kepada sekitar 80 orang guru SD dan Kepala Sekolah SD yang ada di kecamatan Bi¬nangun yang dilakukan pada tanggal 6,7 dan 20 Juni 2009 yang lalu. Uji coba ini dikemas dalam bentuk pelatihan model-model pem¬belajaran inovatif IPS SD dan PTK.
Validasi Ahli
Hasil uji coba model menunjukkan bah¬wa: sebagian besar peserta (56,67%) sudah jelas dalam memahami konsep dasar pem¬belajaraan kooperatif; selanjutnya sebanyak 35% peserta sudah merasa cukup jelas. Beri¬kutnya, sebagian besar (55 %) guru-guru SD sudah jelas dalam memahami prosedur dan sintaks pembelajaran model STAD ini, sedang yang lain (35 %) sudah cukup jelas. Selanjut¬nya, juga diketahui bahwa sebagian peserta sudah jelas (42,37%) dan cukup jelas (49,15 %) dalam memahami sintaks dan prosedur model pembelajaran Group Investigation (GI). Kemudian, Sebagain besar guru-guru SD su¬dah jelas (52,54%) dan cukup jelas (40,67%) dalam memahami model pembelajaran koo-peratif model TGT. Berikutnya, khusus untuk inkuiri, validasi model dilakukan pada 2 guru di Kabupaten Blitar. Kedua guru tersebut merupakan guru senior dan seorang guru SD yunior. Respon kedua validator terhadap video ini sangat baik dan dapat memahami skenario VCD yang sudah dibuat.
Yang terakhir, model PBL dan inkuiri menurut salah seorang ahli teori dan praktek pendidikan (pejabat UM, lulus S3, pengala¬man kerja 24 tahun) agak mirip sehingga pe¬nyusunan model PBL ini ditunda dulu sambil memberikan dasar-dasar teoritis yang kuat kepada guru sehingga dapat membedakan antara PBL dan inkuiri. Sangat dimungkin-kan model PBL ini dibuat pada tahun ketiga dan perlu disosialisasikan pada guru-guru yang lain di luar Kabupaten Blitar. Mengikuti saran pakar di atas, maka model PBL ini di¬tunda dulu, sambil memberikan dasar-dasar teoritis yang kuat kepada guru SD tentang konsep dan penerapan PBL ini di kelas.
Saran
Dari hasil sosialisasi terbatas terhadap para guru SD juga dapat diketahui bahwa para guru SD tersebut juga memerlukan video model pembelajaran yang lain seperti Numbered Heads Together (NHT), Think-Pair-Share (TPS), Think-Pair-Square (TPS), Talking Stick (TS) dan lain-lain. Untuk itu penelitian-penelitian pengembangan berikutnya yang
Budi Eko Soetjipto, Penyusunan Video Pembelajaran Inovatif Untuk IPS76 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
menghasilkan output berupa VCD pembela¬jaran diharapkan juga dapat menghasilkan model-model pembelajaran di atas. Selain model-model pembelajaran untuk IPS, Para guru juga memerlukan video model-model pembelajaran untuk Bahasa Indonesia, IPA, serta keterampilan. Guru model untuk pe-nyusunan model pembelajaran berikutnya dapat diambilkan dari guru-guru lulusan S1 PGSD yang sudah paham dengan model-model pembelajaran inovatif termasuk coope-rative learning.
DAFTAR RUJUKAN

Samawi, A., Nilawati., Hartini. 2005. Penera¬pan Metode Jigsaw Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Tentang Konsep Multi-kultural Pada Mata Pelajaran Pengetahuan Sosil Kelas IV Sekolah Dasar Laboratorium Universitas Negeri Malang. Lemlit Uni-versitas Negeri Malang.
Soetjipto, B.E., Samawi, A., Elmunsyah, H. 2009, Pengembangan Metode Pembe-lajaran IPS SD Dengan Model Inkuiri, Jigsaw, PBL, GI, TGT, dan STAD. Jurnal Penelitian Kependidikan, Tahun 19, No.1, April, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang.
Soetjipto, B. E. 2001. The Use of Inquiry Learning as a method of Implementing Active Learning, Jurnal Ilmu Pendidikan, (terakreditasi sebagai jurnal bertaraf Na-sional). Agustus, Jilid 8, Nomor 3. ISSN 0215-9643.
Soetjipto, B. E. 2008. Pengembangan E-Learn¬ing Metode Pembelajaran IPS SD Den¬gan Pendekatan Inkuiri, Jigsaw, PBL, Group Investigation, TGT dan STAD. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Ta¬hun Pertama, DIKTI, Universitas Negeri Malang: Lembaga Penelitian. 77

Kontribusi Pemerolehan Konsep Pragmatik Bahasa
Inggris terhadap Prestasi Latihan Microteaching
Mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Jember
Musli Ariani
Wiwiek Eko Bindarti
Universitas Jember, Jl. Kalimantan III/3 Jember , Telp. 081336961725
Abstract: This research aims at finding out the contribution of pragmatic concept acquisition in English to microteaching achievement of the students at English Education Program, Faculty of Teacher Training and Education, University of Jember. An expost facto research design was applied. The data were obtained from the documents and analysed by multivariate correlation. From the population of 46 students, it was found that the contribution of the pragmatic con¬cept acquisition on microteaching achievement in general proved to be remarkable in which the contribution reached 35.42%. This was particularly reflected in the achievement of most basic teaching skills such as explanation, questioning, setting induction and closure, reinforcement and integrated skills; despite the fact that the correlation coefficient was relatively low in terms of stimulus variation and class management skills. It can be infeered that the role of pragmatics is now unquestionably obvious in microteaching; and is more likely to be essential in the real teaching in an actual class.
Kata kunci: pemerolehan konsep pragmatik, pengajaran mikro
Bahasa Inggris sudah menjadi kebutuhan utama di dalam dunia pendidikan formal. Dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga pergu¬ruan tinggi, bahasa Inggris disajikan, walau porsinya relatif berbeda-beda. Di TK hingga Sekolah Dasar (SD) bahasa Inggris masuk da¬lam kurikulum muat-an lokal. Sementara itu, di sekolah menengah dari SLTP hingga SMU atau SMK bahasa Inggris menjadi mata pelaja¬ran wajib. Di Perguruan Tinggi bahasa Inggris menjadi mata kuliah wajib.
Upaya meningkatkan kualitas pembel-ajaran bahasa Inggris secara resmi sudah dilakukan. Kurikulum Nasional mengarah pada penggunaan bahasa Inggris secara ko-munikatif dan interaktif, seperti Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 untuk pendidikan dasar dan menen¬gah. Sementara itu, para pakar pembelajaran bahasa Inggris gencar menyajikan berbagai pendekatan, metode, dan teknik pembela¬jar-an bahasa Inggris yang komunikatif dan interaktif pula.
Akan tetapi, pembelajaran struktur atau grammar bahasa Ingggris masih men¬jadi pilihan utama untuk mengatasi masalah klasik: kelas besar dan kurangnya materi autentik. Cara lama ini tidaklah ideal un¬tuk mencapai pembelajaran bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Pada umumnya, pengajar merasa belum meng-ajar kalau tidak mengajarkan struktur bahasa Inggris sehingga porsi waktu yang sangat terbatas lebih banyak digunakan untuk mempelajari rumus bahasa Inggris atau manghafal kosa kata secara terlepas dari konteksnya. Aki¬
7678 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
batnya, setelah enam tahun belajar bahasa Inggris (dari SLTP hingga SMU) atau lebih, siswa belum bisa menggunakan bahasa Ing¬gris dengan aktif. Fokus pembelajaran baha¬sa Inggris pada pokok bahasan struktur atau grammar menunjukkan bahwa pemahaman guru akan konsep pragmatik atau language in action masih sangat kurang; sedangkan tiga dari empat tujuan kurikulum berbasis kompetensi mengacu pada tujuan pembela¬jaran bahasa dalam konteks language in ac¬tion (discourse, sociocultural, and strategic com¬petencies) dan hanya satu dari empat tujuan fokus pada linguistik (linguistic competency) (DIKNAS, 2003).
Konsep pragmatig memiliki cakrawala pandang yang berbeda mengenai bahasa. Konsep pragmatik bahasa Inggris meliputi prinsip percakapan (the Cooperative Prin¬ciples), konsep tindak tutur (Speech Acts), dan strategi kesantunan (politeness strategy). The cooperative principles diusulkan oleh filosof H. P. Grice, pada tahun 1967 (Green, 1989). Speech Acts diteliti oleh J. Austin se¬jak 1962, dan dikembangkan oleh J. Searle pada tahun 1965 (Coulthard, 1985). Strategy kesantunan (Politeness Strategy) diformu¬lasikan oleh R. Lackof pada tahun 1973 dan diteliti oleh Brown dan Levinson tahun 1978 (Brown and Levinson, 1987). Dalam hal ini, bahasa dilihat dari segala aspek yang terkait dalam sebuah wacana (discourse) baik itu lisan maupun tulis; yaitu siapa berbicara pada siapa, dimana, dan dalam situasi yang bagaimana; bukan struktur dan kaidah yang sempurna akan tetapi tanpa konteks (Brown & Yule, 1998). Dengan cara pandang yang pragmatis maka pembel-ajaran bahasa akan lebih bersifat aktif, komunikatif, inter¬aktif, dan variatif. Setiap pembelajar akan dilibatkan dalam kemampuan berbicara (speaking), mendengarkan (listening) mem¬baca (reading), dan menulis (writing) secara terintegrasi dalam konteks wacana yang be¬nar. Hal ini membawa dampak pada pembe¬lajaran struktur atau grammar bahasa yang implisit. Struktur bahasa hanya akan diba¬has kalau ada permasalahan dengan makna penggunaan bahasa dalam konteks.
Pentingnya Konsep Pragmatik dalam Pem¬belajaran Bahasa
Pragmatik adalah bahasa dalam peng¬gunaan atau language in action. Pragmatik mampu memberi banyak cara untuk mene¬mukan makna bahasa yang sebenarnya ber¬dasarkan konteks fisik, sosial dan psikologi pada saat bahasa digunakan (Cook, 1989). Oleh karena itu, berbeda dari linguistik yang hanya mengutamakan kekuatan ver¬bal bahasa, pragmatik mengutamakan ba¬hasa verbal (katakata, frasa, dan kalimat) dan bahasa non verbal seperti bahasa isyarat (gestural expression), mimik (facial expres¬sion) dan bahasa tubuh (postural expression) (Brown & Yule, 1989). Pragmatik mencakup banyak konsep dan prinsip language in ac¬tion seperti the Cooperative Principles, Specch Act Theory, Politeness Strategy, Inference, Rel¬evance, dan Implicature. Tiga yang pertama dipilih menjadi fokus penelitian ini karena tiga yang terakhir sebenarnya bagian dari tiga yang pertama.
Kemampuan mahasiswa bahasa Inggris akan optimal bila kemampuan teoretik ling-uistik yang dimilikinya dilengkapi dengan kemampuan pragmatik. Misalnya dengan prinsip percakapan the Cooperative Principles yang meliputi 4 maxim: quality, quantity, rel¬evance, dan manner (Green, 1989) , seseorang akan faham dalam situasi apa ia berada. Maxim Quality artinya bahwa di dalam per¬cakap-an seorang pembicara hendaknya ju¬jur deng-an apa yang diucapkannya. Maxim Quantity artinya sebuah ucapan hendaknya cukup padat informasi, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Maxim Relevance artinya pembicara hendaknya terfokus pada 79
topik pembicaraan. Maxim Manner berarti pembicara harus jelas ucapannya, baik itu artikulasi, intonasi maupun urutan kata-katanya. Dalam banyak hal ungkapan ses¬eorang tampak melanggar maxim tertentu, akan tetapi, dengan pemahamam konsep yang dalam sebenarnya tidak terjadi pelang¬garan maxim (Ariani, 2002).
Teori tindak tutur atau Speech Act The¬ory memberi acuan tentang kemungkinan makna dibalik ungkapan seseorang. Austin mencetuskan teori dasar tentang Speech Act yaitu bahwa ungkapan tertentu dalam kon¬teks tertentu memiliki makna lokus (lucu¬tionary force), makna dibalik lokus/ makna implisit (illocutionary force), dan makna aki¬bat lokus (perlocutionary force) (Coulthard, 1985). Memahami teori ini berarti memaha¬mi makna ungkapan dalam bahasa Inggris bukan hanya apa yang tersurat saja, tetapi juga apa yang tersirat dan akibat apa yang akan terjadi atau diungkapkan dengan men¬dengarkan ungkapan tertentu dalam situasi tertentu. Dengan memahami konsep speech act guru tidak akan kehilangan ungkapan dalam bahasa Inggris dan tidak harus bera¬lih ke dalam bahasa Indonesia dan kembali pada pembelajaran struktur.
Strategi kesantunan atau Politeness Stra-tegy sangat diperlukan untuk terciptanya suasana kelas yang kondusif dan demokra¬tis. Politeness adalah usaha yang mungkin dilakukan seseorang untuk sedapat mung¬kin tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Ada dua hal yang mungkin dilakukan seseorang dalam berin¬teraksi yaitu positive politeness dan negative politeness (Brown & Levinson, 1987). Sese¬orang melakukan aksi positive politeness ka¬lau ia berusaha untuk mengajukan ide atau gagasannya dengan menempatkan lawan bicara sebagai seorang yang memiliki ke¬mauan dan tujuan yang sa-ma dengan dirin¬ya. Ini biasanya dilakukan dengan menem¬patkan lawan bicara sebagai seorang yang berada pada posisi yang sama dengan pem¬bicara. Guru akan mengajak siswa untuk melakukan sebuah proyek bersama-sama untuk kepentingan seluruh kelas. Misalnya ,”What about cooking? Let’s do some cooking to¬gether.” dan sebagainya. Seseorang melaku¬kan aksi negative politeness kalau ia berusaha menunjukkan respek kepada lawan bicara sedemikian rupa sehingga lawan bicara bisa menerima apa yang dikehendakinya tanpa memaksakan kehendak. Ini ditandai de-ngan penggunaan ungkapan-ungkapan yang formal, bersifat meminta maaf, atau penggunaan kalimat pasif sehingga tidak ada kesan memaksa. Contohnya, “Would you please clean up the table after the experi¬mentation?” Pengetahuan, pemahaman dan aplikasi politeness strategy, baik itu positive maupun negative politeness sangat diperlu¬kan untuk menciptakan komunitas bela¬jar (community learning) di kelas dan untuk melakukan kolaborasi deng-an siswa di kelas. Bagaimana melakukannya kalau tidak tahu apa yang harus diucapkan di dalam kelas untuk tujuan tersebut. Tidak ada ala¬san bagi guru untuk menciptakan atmosfer kelas yang diinginkan harus dengan meng- gunakan bahasa Indonesia pada saat berada dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Dengan pemerolehan konsep politeness strat¬egy seorang calon guru tidak akan kehabisan kata, gaya, atau cara untuk membangun sua¬sana belajar yang kondusif.
Pentingnya Pemerolehan Konsep Pragma¬tik bagi Prestasi Microteaching
Pemerolehan konsep pragmatik berarti pengetahuan, pemahaman, aplikasi konsep pragmatik, dan analisis wacana (discourse) dengan menggunakan the Cooperative Prin¬ciples, Specch Act Theory, dan Politeness stra-tegy. Ketiga konsep tersebut menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini karena konsep
Musli Ariani, Kontribusi Pemerolehan Konsep Pragmatik Bahasa 80 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
tersebut merupakan konsep yang paling utama dalam pragmatik.
Microteaching terdiri dari delapan ket¬erampilan dasar mengajar dengan enam keterampilan dasar yang esensial. Delapan keterampilan tersebut adalah keterampilan membuka dan menutup pelajaran, men¬jelaskan, bertanya, memberi penguatan, memberikan variasi stimulus, managemen kelas, membimbing diskusi kelompok ke¬cil, dan mengajar kelompok kecil dan per¬orangan. Dua yang terakhir bisa digabung dalam kete-rampilan pengelolaan kelas di mana di dalam keterampilan pengelolaan kelas guru harus mampu mendelegasi tu¬gas atau latihan di kelas dalam bentuk kel¬ompok kecil, berpasangan atau perorangan (Lab Microteaching, 2006). Latihan mengajar dilakukan dengan waktu terbatas, 10-15 me¬nit per orang per keterampilan, dengan jum¬lah murid terbatas, 5-10 orang, dan materi terbatas untuk alokasi penyampaian 10-15 menit.
Keterampilan dasar mengajar dilatihkan kepada mahasiswa calon guru agar mereka siap menjalani praktek mengajar di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Keterampilan ini dilatihkan secara ter¬isolasi dan terintegrasi. Mahasiswa program pendidikan bahasa Inggris diberi latihan me-ngajar dengan fokus pada setiap keterampil-an dasar mengajar atau latihan keterampi¬lan mengajar terisolasi. Mereka juga diberi latih-an keterampilan mengajar terintegrasi yaitu gabungan dari keenam keterampilan dasar mengajar dalam satu performansi mengajar bahasa. Prestasi microteaching di¬ambil dari nilai latihan final (50%) ditam¬bah rerata nilai latihan harian keterampilan terisolasi dan terintegrasi (30%), nilai tugas (10%) dan nilai kedisiplinan (10%).
Berdasarkan penelitian terdahulu, prestasi microteaching mahasiswa program pendidik-an bahasa Inggris sudah cukup memadai dengan diberikannya perlakuan¬perlakuan tertentu. Balikan hasil latihan secara lisan meningkatkan prestasi latihan microteaching (Tasnim, 2000). Latihan mi¬croteaching dengan siswa sebenarnya berpen¬garuh positif ter-hadap prestasi microteach¬ing (Masyhud, 2000) dan secara umum IPK mahasiswa berpenga-ruh positif terhadap prestasi praktek mengajar di lapangan (Masyhud, 20001). Penelitian-penelitian tersebut terpusat pada keterampilan menga¬jar secara umum. Hasil penelitian terdahulu masih membuktikan secara kasar prestasi microteaching mahasiswa. Bagaimana presta¬si mereka dalam setiap komponen latih-an mengajar sehubungan dengan tuntutan proses pembelajaran yang komunikatif dan interaktif dalam pembelajaran bahasa Ing¬gris khususnya, yang mencakup aspek lin¬guistik dan pragmatik, belum terpecahkan. Prinsip percakapan, konsep tindak tutur, dan strategy kesantunan sangat diperlukan dalam konteks guru mengajar bahasa yang komunikatif dan interaktif. Apakah maha¬siswa cukup tangguh untuk tidak terjebak pada pembelajaran struktur atau grammar bahasa Inggris saat harus menghadapi kelas besar dan bahan ajar yang minimal? Pe¬merolehan konsep pragmatik bahasa Inggris kaitannya dengan kualitas hasil latihan mi¬croteaching secara umum dan khusus dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris komu¬nikatif interaktif belum diketahui. Bertolak dari pertanyaanpertanyaan tersebut, sangat¬lah perlu dilakukan pengkajian lanjut.
Penelitian secara lebih khusus menge¬nai microteaching untuk mahasiswa program pendidikan bahasa Inggris sangat mendesak. Hal ini terutama disebabkan oleh tuntutan kurikulum. Kurikulum berbasis kompetensi yang diimplementasikan di Sekolah Mene-gah Pertama dan Sekolah Menengah Atas sebagai tempat tujuan mahasiswa praktek mengajar atau bekerja nantinya menuntut sebuah pendekatan pembelajaran konteks-tual. Pendekatan kontekstual atau Contextu¬81
al Teaching Learning approach (CTL) dibangun atas dasar konstruktivisme yaitu memban-gun pengetahuan dari yang paling seder¬hana sampai yang paling kompleks dengan mengutamakan pengalaman; membentuk komunitas belajar (community learning) seh¬ingga proses pembelajar terpusat pada siswa; menciptakan kerja sama aktif (collaboration) dengan siswa untuk semua yang berkaitan dengan aktifitas belajar bahasa Inggris, dan memberikan contoh (modelling) dalam pem¬belajaran. Di sini, bahan ajar yang autentik dan alat ukur keberhasilan belajar autentik sangat diperlukan (Ariani, 2001).
Konsep pragmatik akan memberi¬kan kontribusi berarti untuk peningkatan prestasi microteaching bagi calon pengajar bahasa Inggris dalam latihan microteaching. Konsep pragmatik seperti yang telah diurai¬kan di atas akan memberikan calon guru ba¬hasa Inggris pemahaman dan kemampuan memahami wacana yang dihadapi. Dalam kesimpulan penelitiannya, Ariani (2002) menegaskan bahwa di dalam kehidupan se¬hari-hari banyak hal yang tidak sempurna. Dalam percakapan sehari-hari banyak ung¬kapan yang memiliki makna ganda dibalik apa yang diucapkan. Walau secara grama¬tikal ungkapan-ungkap-an tersebut tam¬pak sama, mereka memiliki makna berbeda dalam situasi dan konteks yang berbeda. Hasil analisis sebuah wacana mengungkap¬kan bahwa 90% dari sample penelitian men¬gandung pelanggaran maxim Cooperative Principles. Sehingga ditegaskan bahwa ke¬tika seseorang belajar bahasa hendaknya be¬lajar memahami konteks budaya, sosial, dan situasi dimana bahasa tersebut sedang digu¬nakan. Sementara pada penelitiannya yang terdahulu Ariani (2002) menggaris bawahi bahwa konteks lebih penting dari pada lin¬guistic cues seperti kaidah bahasa atau struk¬tur bahasa. Untuk mendapatkan pemaha¬man 90 sampai 100 persen tentang sebuah wacana yang sedang dihadapi ternyata kon¬teks lebih berperan daripada grammar. Jelas bahwa apabila seorang mahasiswa bahasa Inggris sudah faham kunci-kunci linguistik mereka harus terampil dalam hal pragma¬tik. Sementara itu, kemampuan mengajar tidak mungkin optimal tanpa pemahaman konsep-konsep pragmatik, apalagi kalau tujuan pembelajaran bahasa Inggris adalah untuk tujuan pemahaman discourse, sociocul¬tural, strategic competencies dan linguistic com¬petence (DIKNAS 2003). Discourse competence adalah kompetensi dalam hal konteks di¬mana, kapan dan dalam situasi apa bahasa Inggris digunakan. Sociocultural competence adalah kompetensi sosio kultural bahasa In¬ggris. Strategic competence adalah kompetensi strategi berkomunikasi dan berinteraksi da¬lam bahasa Inggris. Linguistic competence adalah kompetensi ling-uistik yang mencak¬up tatabahasa, kosakata, lafad dan mekanik. Titik berat kurikulum ada pada kompetensi pragmatik.
Dari uraian di atas sangat jelas ter¬lihat pentingnya penelitian yang lebih khusus tentang kontribusi pemerolehan konsep pragmatik bahasa Inggris terhadap prestasi latihan microteaching mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Inggris baik itu prestasi microteaching secara umum dalam konteks pembelajaran bahasa Ing¬gris; maupun prestasi setiap keterampilan mengajar terisolasi dan terintegrasi dalam latihan microteaching. Permasalahan pene¬litian dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) apakah pemerolehan konsep pragmatik bahasa Inggris (X) memiliki kontribusi yang berarti terhadap prestasi latihan microteach¬ing (Y) mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Jember? Bila memiliki kontribusi, seberapa besarkah kontribusi variabel bebas tersebut terhadap prestasi microteaching mahasiswa?; (2) apak¬ah pemerolehan konsep pragmatik bahasa Inggris (X) memiliki kontribusi yang berarti terhadap prestasi setiap jenis keterampilan
Musli Ariani, Kontribusi Pemerolehan Konsep Pragmatik Bahasa 82 JURNAL PENELITIAN KEPENDIDIKAN, TH. 20, NO. 1, APRIL 2010
dasar mengajar (Y1-Y7) dalam latihan mi¬croteaching mahasiswa Program Pendidikan bahasa Inggris FKIP – Universitas Jember? Bila memiliki kontribusi, seberapa besarkah kontribusi variabel bebas tersebut terhadap prestasi setiap jenis keterampilan dasar mengajar dalam latihan microteaching maha¬siswa Program Pendidikan bahasa Inggris FKIP – Universitas Jember?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kontribusi pemerole¬han pragmatik bahasa Inggris terhadap prestasi latihan microteaching secara umum pada mahasiswa Program Pendidikan baha¬sa Inggris FKIP-Universitas Jember. Selan¬jutnya tujuan penelitian juga untuk menge¬tahui lebih detail kontribusi pemerolehan konsep pragmatik bahasa Inggris terhadap prestasi setiap ke-terampilan dasar menga¬jar secara terisolasi dan terintegrasi dalam latihan microteaching mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Inggris FKIPUniversitas Jember.
Hasil penelitian ini akan memberikan wawasan bagi institusi mengenai manfaat pemerolehan fungsi bahasa Inggris yaitu konsep pragmatik bahasa Inggris untuk pen-ingkatan kualitas mengajar khususnya para mahasiswa program pendidikan bahasa Inggris. Para dosen yang berkaitan dengan pragmatik dan microteaching mendapatkan masukan tentang bagaimana bisa memberi¬kan balikan yang lebih spesifik untuk men¬ingkatkan kualitas mengajar yaitu dengan konsep pragmatik yang diuraikan di dalam penelitian ini. Para mahasiswa calon guru akan menyadari pen-tingnya mengembang¬kan pemerolehan konsep pragmatiknya un¬tuk peningkatan kualitas mengajar bahasa Inggris.
METODE
Rancangan penelitian korelasional ex¬post facto digunakan dalam penelitiah ini. untuk mengungkap data dari peristiwa yang sudah berlalu (Burns, 1998). Pengungkapan kembali fakta tersebut dilakukan dengan identifikasi, elisitasi dan pengumpulan data yang diperlukan. Daerah penelitian ini ada¬lah lingkup kampus FKIP– Universitas Jem¬ber. Populasi penelitian mencakup seluruh mahasiswa Program S1 pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Jember yang telah lulus matakuliah Discourse Analysis, telah lulus Microteaching, dan belum menempuh program praktek mengajar di lapangan atau
Tabel 1 Keadaan Umum Skor Pemerolehan Konsep Pragmatik, Prestasi Latihan Microteaching dan Prestasi Latihan Setiap Jenis Keterampilan Dasar Mengajar Secara Terisolasi dan Terinte¬grasi.
NoVariabelNMinMaxRangeRerataSD1.Skor Pemerolehan Konsep Pragmatik4660882871,28,32.Skor Latihan Microteaching46708212762,83.Skor Keterampilan Membuka dan Menutup Pelajaran4660802074,24,44.Skor Latihan Keterampilan Menjelaskan4668801273,83,25.Skor Latihan Keterampilan Bertanya4670851576,74,56.Skor latihan Keterampilan Memberi Penguatan4665852072,64,27.Skor Latihan Keterampilan Variasi Stimulus4665801573,33,98.Skor Latihan Keterampilan Managemen Kelas4660923279,66,69.Skor Latihan Keterampilan Dasar Terintegrasi4674851179,72,583
PPl pada semester ganjil 2006/2007. Setiap mahasiswa yang memenuhi kategori sep¬erti tersebut dijadikan subyek penelitian ini. Sehingga jumlah populasi yang didapatkan ada 46 orang. Metode utama pengumpulan data adalah metode dokumentasi (Burns, 1998). Metode ini digunakan untuk mem¬peroleh data pemerolehan konsep pragma¬tik bahasa Inggris yang dicapai mahasiswa sebagai variabel bebas (variabel X), prestasi microteaching secara umum sebagai varia-bel terikat (variabel Y), dan prestasi setiap keterampilan dasar mengajar terisolasi dan terintegrasi dalam latihan microteaching se¬bagai variabel terikat (variabel Y1 –Y7). Me¬tode dokumentasi ini juga digunakan untuk memperoleh datadata penunjang penelitian, seperti presentasi mengajar di kelas latihan microteaching.
Teknik analisis data yang digunakan adaah: analisis korelasi multivariat (Burns, 1998). Hasil analisis dijadikan dasar pengu¬jian hipotesis dan penyimpulan hasil pene¬litian. Karena penelitian ini bersifat sosial maka taraf signifikansi untuk semua pengu¬jian hipotesis adalah 0,05%.
HASIL
Data mengenai variabel bebas dan ter¬ikat berhasil dikumpulkan dari dokumen hasil pembelajaran Pragmatik dalam mata kuliah Discourse Analysis dan Microteaching tahun ajaran 20062007. Keterampilan dasar mengajar membuka dan menutup pelajar-an (Y1); menjelaskan (Y2); bertanya (Y3); memberi penguatan (Y4); variasi stimu¬lus (Y5); managemen kelas (Y6); dan kete-rampilan dasar mengajar terintegrasi (Y7).
Hasil analisis korelasi multivariat menunjukkan bahwa pemerolehan konsep pragmatik bahasa Inggris mahasiswa Pro¬gram Pendidikan Bahasa Inggris FKIP-UNEJ memberikan kontribusi yang signifikan ter¬hadap prestasi latihan microteaching. Nilai koefisien korelasi r = 0.60. Dengan jumlah subyek penelitian 46, didapat nilai kritik 0.25 pada taraf signifikansi 0.05 untuk anali¬sis tes satu ekor. Dengan demikian, hipote¬sis nol yang menyatakan bahwa pemerole¬han konsep pragmatik tidak memberikan kontribusi positif terhadap prestasi latihan microetaching ditolak, karena nilar r dari data lebih besar dari pada nilai r kritik tabel pada taraf signifikansi 0,05.
Lebih detail lagi dapat dilihat hasil ko¬relasi yang menarik antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dari tabel terse¬but diketahui bahwa hipotesis nol ditolak dalam 5 komponen keterampilan menga¬jar dan diterima dalam 2 komponen keter¬ampilan mengajar. Hipotesis nol ditolak dalam keterampilan terisolasi membuka dan menutup pelajaran (Y1), menjelaskan (Y2), bertanya (Y3), memberi penguatan (Y4) dan keterampilan secara terintegrasi (Y7). Masingmasing memiliki nilai r = 0,35; 0,44; 0,43; 0,27; dan 0,42. Dengan harga kri¬tik r = 0,25, jelas bahwa ada hubungan yang substansial antara pemerolehan konsep pragmatik bahasa Inggris terutama dengan keterampilan menjelaskan (0,44), bertanya (0,43), dan keterampilan secara terintegrasi (0,42). Meski sedikit lebih rendah, kontri¬
Musli Ariani, Kontribusi Pemerolehan Konsep Pragmatik Bahasa
Tabel 2. Peringkat Kontribusi Variabel Pe¬merolehan Konsep Pragmatik bahasa Inggris (X) terhadap Prestasi Latihan Mengajar (Y)
Variabel R Kontribusi Efektif (%) Peringkat
Kontribusi
X - Y 0,60 35,42 1
X – Y1 0,35 12,18 5
X – Y2 0,44 19,07 2
X – Y3 0,43 18,26 3
X – Y4 0,27 7,30 6
X – Y5 0,03 0,11 8
X – Y 6 0,10 0,99 7
X – Y7 0,42 17,54 4

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons